Minggu, 17 Maret 2013

PEMBELAJARAN SEJARAH DENGAN METODE SKEMATIK


PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA
DENGAN METODE SKEMATIK

Ernawati
(Guru Sejarah SMAN 1 Temanggung)

Abstrak
Metode pembelajaran sejarah di SMA dengan metode pembelajaran konvensional yang berpola guru menerangkan, siswa mendengarkan, tanya jawab, dan pemberian tugas dipandang oleh para guru dan ahli pendidikan sejarah kurang berhasil dan tidak menjadikan siswa menyenangi dan memiliki ketertarikan terhadap mata pelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah di SMA dengan metode skematik merupakan alternatif pembelajaran sejarah yang lebih baik dari pembelajaran konvensional, mengacu pada psikologi kognitif dan pandangan konstruktivistik.

Kata kunci: Pembelajaran sejarah, skematik, psikologi kognitif, dan konstruktivistik.


Fakta di lapangan mata pelajaran sejarah bagi siswa baru (kelas X) di SMA  merupakan mata pelajaran yang kurang diminati siswa karena ketika di SMP/MTs mereka diajar dengan metode pembelajaran yang kurang menarik. Berdasar  jajag pendapat dengan siswa baru SMAN 1 Temangung tahun pembelajaran 2007/2008, dapat disinyalir bahwa mata pelajaran sejarah di SMP/MTs termasuk mata pelajaran yang kurang begitu diminati oleh siswa, hal ini disebabkan oleh guru mata pelajaran sejarah di SMP/MTs dalam melaksanakan pembelajaran kebanyakan menggunakan metode ceramah yang dianggap “membosankan” oleh siswa.
Guru menceritakan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, siswa diminta mendengarkan, mencatat, dan kurang diberi kesempatan terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Sehingga siswa merasa “jemu” dan “tersiksa” dalam mengikuti pelajaran tersebut, akibatnya siswa kurang optimal dalam menyerap pengetahuan sejarah secara bermakna. Melalui jajag pendapat dengan siswa baru tersebut juga diperoleh kesimpulan bahwa  rasa ketidaksenangan terhadap mata pelajaran sejarah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor: (1) guru; (2) siswa; (3) sarana dan prasarana; dan (4) materi pelajaran.
Penyebab yang bersumber dari faktor guru terletak pada penguasaan materi guru yang kurang memadai, cara guru menyampaikan materi kurang menarik sebab guru selalu menggunakan metode ceramah, dan guru dalam penyampaiannya kurang komunikatif dengan penggunaan bahasa yang kurang baik sehingga apa yang dibicarakan sulit dipahami oleh siswa.   Penyebab yang bersumber dari faktor siswa diantaranya adalah siswa tidak mengetahui manfaat mempelajari sejarah, siswa sulit memahami konsep-konsep dalam mata pelajaran sejarah, dan siswa kurang berminat mempelajari mata pelajaran sejarah karena dianggap kurang penting. Penyebab yang bersumber dari sarana dan prasarana sekolah antara lain kurangnya sumber dan bahan ajar, lokasi sekolah yang jauh dari situs-situs sejarah maupun musium sejarah, serta media pembelajaran yang masih kurang memadai. Penyebab yang bersumber dari materi pelajaran antara lain cakupan materi pelajaran yang terlalu luas, bersifat hapalan, dan banyak konsep-konsep dalam mata pelajaran sejarah yang bersifat abstrak misalnya konsep budaya, demokrasi, merdeka, dan lainnya.
Dari hasil pengamatan, pembelajaran sejarah di SMA selama ini berlangsung dengan metode ceramah, yakni dengan pola pembelajaran sebagai berikut:  guru memberi informasi – siswa mendengarkan dan mencatat – tanya jawab - pemberian tugas. Dalam penulisan ini metode pembelajaran dengan pola tersebut disebut metode pembelajaran konvensional. Metode pembelajaran sejarah di SMA dengan metode pembelajaran konvensional dipandang oleh para guru dan ahli pendidikan sejarah kurang berhasil dan bahkan tidak menjadikan siswa menyenangi dan memiliki ketertarikan terhadap mata pelajaran sejarah.
Hal ini merupakan permasalahan serius  yang harus segera dicari alternatif pemecahannya. Artikel ini menyajikan ide berupa alternatif solusi terhadap permasalahan pembelajaran sejarah di SMA, yakni pembelajaran sejarah di SMA dengan metode skematik yang mendasarkan pada psikologi kognitif dan mengacu pada pandangan konstruktivistik.


Pembelajaran Sejarah di SMA
Sejarah menurut Anggar Kaswati (1998: 3) adalah rekonstruksi masa lalu dan apa yang direkonstruksikan adalah apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh manusia. Sejarah juga didefinisikan sebagai bentuk analisis mengenai apa yang dipikirkan orang, apa yang diucapkan, diperbuat, yang menimbulkan perubahan melalui dimensi waktu. Menurut Habib Mustopo (2006: 12) kegunaan sejarah dalam kehidupan  masyarakat adalah: (1) memberikan kesadaran waktu; (2) memberikan pelajaran yang baik; (3) memperkokoh rasa kebangsaan (nasionalisme); (4) memberikan kecerdasan identitas nasional dan kepribadian suatu bangsa; (5) sumber inspirasi; dan (6) sarana rekreatif.
Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik yang khas. Menurut kurikulum 2004 karakteristik mata pelajaran sejarah (Depdiknas, 2006: 4) adalah sebagai berikut: sejarah terkait dengan masa lalu; sejarah bersifat kronologis; dalam sejarah ada tiga unsur penting: manusia, ruang dan waktu; perspektif waktu merupakan dimensi yang sangat penting dalam sejarah. Sekalipun sejarah erat kaitannya dengan waktu lampau, tetapi waktu lampau itu terus berkesinambungan;  sejarah ada prinsip sebab akibat; sejarah pada hakekatnya adalah suatu persitiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang menyangkut berbagai aspek dengan pendekatan multi dimensional; pelajaran sejarah di SMA adalah mata pelajaran yang mengkaji permasalahan dan perkembangan masyarakat dari masa lampau sampai masa kini; pembelajaran sejarah di SMA tujuan dan penggunaannya dibedakan atas sejarah empiris dan sejarah normatif. Sejarah empiris menyajikan subtansi kesejarahan yang bersifat akademis (untuk tujuan yang bersifat ilmiah). Sejarah normatif menyajikan subtansi kesejarahan yang dipilih menurut ukuran nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan yang bersifat normatif, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional;  dan pendidikan sejarah di SMA lebih menekankan kepada perspektif kritis-logis dengan pendekatan historis-sosiologis.
Di sekolah sejarah dipandang sebagai ilmu yang memiliki ciri empirik, memiliki obyek, memiliki teori, dan memiliki metode. Dalam kaitan ini Suryo (dalam Depdiknas, 2006: 3) memberi pengertian tentang ilmu sejarah, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari proses perubahan kehidupan manusia dan lingkungannya melalui dimensi waktu dan tempat. Aspek kajiannya berupa proses perubahan dari akktivitas manusia dan lingkungan kehidupannya pada masa lalu sejak manusia belum mengenal tulisan sampai perkembangan mutakhir, yang mencakup aspek-aspek politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, keagamaan, kepercayaan, geografi dan lainnya. Dengan demikian mata pelajaran sejarah memiliki peran yang strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dalam dunia pendidikan, sejarah mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian siswa.
Niels Mulder  dalam Supriyadi (2005: 1) merasa gundah terhadap pelaksanaan pembelajaran sejarah selama ini. Dalam pembelajaran sejarah banyak kendala yang dihadapi para siswa. Beberapa kendala dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah adalah: (1) materi pembelajaran sejarah yang terlalu banyak; (2) kurangnya minat mempelajari sejarah; (3) prestasi belajar sejarah rendah; dan (4) buku-buku yang digunakan sebagai bahan pembelajaran kurang mendidik siswa dalam berpikir kritis. Lebih lagi, guru dalam mengajar sejarah pada taraf kognitif tingkat rendah. Sebagai akibatnya siswa diminta menghafal fakta-fakta pada buku-buku yang dijadikan acuan dalam mengajarnya. Muara dari pelaksanaan pembelajaran seperti itu adalah prestasi belajar siswa rendah dan siswa kurang memahami sejarah bangsanya sendiri.
Agar pembelajaran di sekolah, termasuk pembelajaran sejarah, Setyosari (2008: 6) berpendapat bahwa penggunaan  media pembelajaran merupakan bagian yang sangat menentukan dalam efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan pembelajaran. Berdasar kurikulum sejarah tahun 2004, secara umum pola yang digunakan oleh para guru sejarah dalam merancang pembelajaran sejarah bermula dari  standar kompetensi dan kompetensi dasar (tertuang dalam silabus), dan kemudian guru menyusun indikator, tujuan, dan materi pembelajaran. Selanjutnya menetapkan model, metode, dan media pembelajaran, strategi atau langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan diakhiri dengan tehnik penilaian.
Himbauan Supriyadi (2005: 2) hendaknya sejarawan dan guru sejarah selaku warga negara hendaknya bersedia dan berkemampuan untuk membangun bangsa. Namun himbauan tersebut sampai saat ini belum terwujud dalam bentuk nyata dilaksanakan oleh guru-guru sejarah di sekolah. Hal ini dikarenakan para guru sejarah berpandangan dirinya lebih menguasai materi sejarah dibanding siswanya. Guru berusaha menjelaskan peristiwa masa lalu dengan metode ceramah. Kadang siswa diminta membaca cerita dari buku acuan yang digunakan, kemudian guru menjelaskannya. Siswa tidak begitu lama mampu berkonsentrasi mendengarkannya, akibatnya siswa menjadi jemu dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.  Guru sejarah yang diharapkan mampu membangun bangsa menjadi terhambat, karena siswa di kelas kurang tertarik dan jemu dalam mempelajari sejarah.
Jadi berdasar pengamatan di lapangan terhadap keterlaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah dan menurut pendapat para ahli tersebut di atas, untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas langkah pertama dan penting yang dapat dilakukan adalah mengatasi masalah yang bersumber dari faktor guru.   Guru perlu kreatif dalam melaksanakan pembelajaran sejarah. Berdasar ungkapan Supriyadi (2005: 2) disinyalir perlunya mengusahakan agar pembelajaran sejarah sukses dan salah satu alternatifnya adalah merancang dan melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan bantuan media pembelajaran sejarah.
Karena guru dalam melaksanakan pembelajaran sejarah kebanyakan menggunakan metode ceramah – tanya jawab – pemberian tugas, maka para guru sejarah selama ini banyak yang tidak menggunakan media pembelajaran dalam melaksanakan pembelajaran sejarah di kelas. Menurut Setyosari (2008: 12) pola pembelajaran seperti ini disebut dengan pola pembelajaran tradisional yang menempatkan kedudukan guru sebagai satu-satunya sumber dalam komponen sistem pembelajaran. Secara umum pengertian pembelajaran tradisional identik dengan pembelajaran konvensional yang berpola ceramah-siswa mendengarkan-tanya jawab-pemberian tugas..

Gagasan Pembelajaran Sejarah dengan Metode Skematik
Piaget dalam Slavin (2000: 32) membagi perkembangan kognisi orang dalam empat tahap: (1) sensori motor (sensorimotor); (2) pre-operasional (preoperational); (3) operasi konkret (concrete operational); dan (4) operasi formal (formal operation). Seseorang sejak lahir sampai dewasa mengalami proses pekembangan kognitif melalui empat tahap ini. Kecepatan untuk mencapai dan melewati setiap tahap tersebut berbeda-beda.
Usia siswa SMA antara lima belas sampai dengan sembilan belas tahun, Menurut tahapan perkembanngan kognisi dari Piaget berada pada tahap operasional formal. Oleh karena itu siswa SMA dapat berpikir abstrak, menggunakan penalaran dan logika, menyusun hipotesis, serta memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematik. Dengan demikian siswa SMA dapat menggunakan kaidah-kaidah ilmiah dalam belajarnya. Jadi berkaitan dengan pembelajaran sejarah,  konsep-konsep sejarah yang bersifat abstrak dapat dipelajari oleh siswa SMA. 
Dengan berlakunya kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi dan dengan memperhatikan standar isi (Permendiknas No. 22 tahun 2006)  berkembang berbagai metode pembelajaran sejarah di SMA. Namun jika diperhatikan di lapangan, terdapat dua pandangan filosofi yang digunakan para guru dalam mengembangkan metode pembelajaran, yaitu: behaviorisme dan konstruktivisme. Tokoh-tokoh pendidikan yang mendasarkan pembelajaran pada behaviorisme misalnya Pavlov, Thorndike, dan Skinner. Sedangkan tokoh-tokoh pendidikan yang mendasarkan pembelajaran pada kontruktivisme adalah Piaget, Vygotsky dan Bruner (Salvin, 2000).
Akhir akhir ini dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah,  para ahli pendidikan cenderung menggeser pandangan  behavioristik yang melandaskan pada psikologi tingkah laku, ke arah pandangan konstruktivistik yang melandaskan pada psikologi kognitif.  Kekuatan penalaran dan logika berpengaruh besar pada pandangan konstruktivistik. Dalam belajar siswa lebih banyak diajak berpikir mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Jadi pembelajaran sejarah yang beracuan pada pandangan kontruktivistik akan menjadi lebih bermakna bagi siswa jika siswa terlibat  berpikir dan aktif mengkonstruksi pengetahuan berdasar pada pengalaman siswa sendiri dibawah bimbingan guru (guided-reinvention). Pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru tetapi berorientasi pada siswa (students oriented). Siswa yang belajar, dan guru menyediakan fasilitas dan membantu serta membimbingnya. Namun yang perlu diperhatikan oleh guru adalah tidak mudah dalam menyampaikan konsep-konsep sejarah yang bersifat abstrak kepada siswa (Nurhadi, dkk: 2004)
Berkaitan dengan pembelajaran sejarah di SMA, kesulitan yang dihadapi oleh guru adalah memilih metode pembelajaran yang tepat untuk menanamkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip sejarah yang bersifat abstrak. Sebagai contoh tentang konsep bangsa, negara, demokrasi, peristiwa pra sejarah, dan sebagainya, yang sifatnya ”abstrak” dan merupakan peristiwa masa lalu. Maka untuk mengatasi kesulitan itu, guru harus pandai memadukan berbagai bentuk, cara atau metode agar pengajaran yang disampaikan dapat bermakna bagi siswa.
Yang tidak kalah penting perlu mendapat perhatian para guru sejarah SMA dalam melaksanakan pembelajaran di kelas, bahwa materi sejarah menyangkut konsep yang berkaitan dengan pertanyaan: (1) apa (what); (2) kapan (when); (3) di mana (where); (4) mengapa (why); (5) siapa (who); dan (6) bagaimana (how).  Misalnya pembelajaran konsep kerajaan Singasari dalam konteks pergantian kekuasaan dari Raja Ken Arok kepada Raja Anusapati. Guru dapat merumuskan  pertanyaan atau pernyataan tentang: apa peristiwa yang terjadi sekitar suksesi di kerajaan singasari; kapan suksesi tersebut berlangsung; di mana peristiwa penting sekitar suksesi terjadi; mengapa terjadi suksesi; siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa suksesi; dan bagaimana proses atau jalannya persitiwa suksesi.
Disinyalir dari isi kurikulum 2004 dan dengan memperhatikan standar isi .  (Permendiknas No. 22, 23, dan 24 tahun 2006). saat ini guru seyogyanya  mulai mengurangi penggunaan metode pembelajaran konvensional; sebagai alternatif penggantinya guru didorong merancang pembelajaran beracuan  konstruktivisme yang mengacu pada psikologi kognitif. Dalam bidang metodologi pendidikan Piaget tergolong dalam konstruktivisme individu dan Vygotsky dalam konstruktivisme sosial. Beberapa tokoh pendidikan,  mengacu pada psikologi kognitif dari Piaget, yang melibatkan beberapa unsur pendapat Vygotsky terutama pada bantuan belajar atau scaffolding. 
Bruner seorang ahli pendidikan dari Amerika menjelaskan tentang konsep belajar, bahwa belajar yang efektif dan komprehensif diperoleh dengan cara belajar konsep dan struktur ilmu yang sedang dipelajari. Teori Bruner mengacu pada teori Piaget dan Vygotsky.  Sampai saat ini teori pendidikan Bruner masih berpengaruh dalam dunia pendidikan. Secara teoritis pembelajaran menurut teori Bruner (dalam Materney, 1999) mengikuti langkah: enaktif (enactive) – ikonik (iconic) – simbolik (symbolic) yakni pembelajaran yang bermula dari hal-hal konkret menuju abstrak. Untuk usia siswa SMA guru seyogyanya dapat mengajarkan struktur dan konsep sejarah yang kompleks dan abstrak dengan pendekatan yang sesuai dengan Teori Bruner.
Ide dari pembelajaran sejarah dengan metode pembelajaran skematik terinspirasi dari teori Bruner, Piaget dan Vygotsky. Sumbangan teori Bruner terutama pada pergeseran dari tahap ikonik ke simbolik yang dalam praktek pembelajaran di  kelas menggunakan bantuan benda-benda manipulatif misalnya gambar, peta, grafik, skema, sketsa dan media pembelajaran yang sejenis. Sumbangan teori Piaget terutama pada proses penyerapan informasi sejarah yang masuk ke benak siswa disimpan dalam skema-skema (schemes)  melalui adaptasi dan akomodasi. Sumbangan teori Vygotsky terutama pada interaksi sosial dalam kelompok.
Agar siswa menangkap konsep-konsep sejarah, dalam melaksanakan pembelajaran diperlukan media pembelajaran atau mediasi benda-benda manipulatif. Pembelajaran sejarah berkaitan erat dengan membaca (reading). Siswa dalam membaca bukan saja membaca tulisan-tulisan dalam buku tetapi juga membaca dan memaknai misalnya gambar masa lalu, peta, grafik, dan sebagainya. Berkaitan dengan kemampuan membaca siswa, konsultan internasional pendidikan anak Sticht (2002: 3) menyatakan:
In writing, the person “extract” knowledge from the brain and “collect” (store) it in graphics displays. Then, through the practice of the skill of reading, the collected knowledge is extracted by the person from the graphic display and reconstructed in the brain.

Artinya, dalam menulis, individu “mengekstrakkan” pengetahuan dari benak dan “mengumpulkannya” (menyimpan) dalam tampilan “grafik”. Kemudian, melalui latihan keterampilan membaca, pengetahuan yang terkumpul tadi diekstrakkan oleh individu dari tampilan grafik dan merekonstruksi dalam benaknya.
Berkaitan dengan istilah ”grafik” tersebut di atas, Sticht (2002) menyatakan berbagai transisi dan pemrosesan informasi secara ”grafik” dapat berbentuk label-label, daftar-daftar, skedul-skedul, flow chart, tabel-tabel, skema, transparansi, dan sebagainya. Penekanan pada pentingnya makna dalam membaca dapat dilakukan dengan membantu siswa memahami apa yang ditulis. Pentingnya makna dalam menulis dan membaca dapat dikenalkan melalui penyajian grafik berbasis non bahasa lisan (misalnya gambar).
Para ahli sejarah dan ahli  pendidikan sejarah telah banyak melakukan penelitian dalam bidang disiplin ilmu sejarah. Misalnya ProQuest (2006) melakukan penelitian studi kasus pembelajaran sejarah melalui website. Salah satu instrumen dalam pembelajarannya adalah dengan cara menunjukkan gambar (foto) melalui website. Subyeknya adalah siswa kelas (grade) X, para siswa  diminta memberi komentar pada suatu gambar (foto) peristiwa sejarah, misalnya bagaimana perkiraan kebudayaan masyarakat pada waktu itu. Dengan cara seperti itu, siswa ikut terlibat berpikir tentang peristiwa sejarah dan bahkan dapat membuat hubungan (connection) dengan peristiwa saat ini, dan memprediksi peristiwa yang mungkin akan terjadi di masa datang.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Radulovic dan Rojovic (2004), subyek penelitiannya adalah mahasiswa pendidikan sejarah. Tujuan penelitiannya adalah untuk mencari alternatif pembelajaran yang relevan dengan guru-guru sejarah dengan melibatkan unsur psikologi dan pedagogi. Hasil penelitiannya adalah pembelajaran sejarah yang berorientasi pada berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving). Dengan berpikir kritis guru-guru dapat mengembangkan pemahaman sejarahnya, misalnya sebab dan akibat, pendapat pribadinya, motivasi diri pribadi, dan keterampilan menggunakan bacaan secara aktif. Pengembangan keterampilan pemecahan masalah bersama-sama dengan pendekatan interdisipliner dapat membantu para siswa mempelajari sejarah.
Dalam kesimpulan penelitiannya, Radulovic dan Rojovic (2004) menyatakan:
An important component of teacher education should be active participation in curriculum development aimed at learning how to re-examine existing concepts of history teaching (offered by policy makers together with scholars) by integrating that view of history as history through creation (progress), cooperation and cultural development.

Artinya suatu komponen yang penting dalam pendidikan guru adalah harus berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum yang ditujukan pada pembelajaran bagaimana menguji kembali keberadaan konsep-konsep dalam pembelajaran sejarah (diupayakan oleh pembuat kebijakan bekerjasama dengan sekolah) dengan mengintegrasikan pandangan sejarah sebagai sejarah melalui kreasi (kemajuan), kooperasi, dan perkembangan budaya.

Sintaks Pembelajaran Sejarah dengan Metode Skematik
Dalam penulisan artikel ini, pembelajaran sejarah skematik merupakan pilihan metode pembelajaran untuk memecahkan masalah  perbaikan atau terobosan dalam bidang pembelajaran sejarah di SMA. Istilah “skematik” terinspirasi oleh kata ”scheme” dalam teori psikologi kognitif  Piaget tentang belajar. Inti dari pembelajaran  konstruktivistik menurut Piaget adalah siswa dalam menyerap informasi  yang akan dimasukkan dalam benaknya melalui adaptasi, dan berbentuk skema-skema (schemes). Dalam adaptasi ini memuat proses asimilasi, yaitu manakala informasi yang masuk dalam benak siswa sesuai dengan skema-skema yang sudah dimilikinya. Jika belum cocok, siswa melakukan modifikasi atau bahkan membuat skema baru, dan ini disebut proses akomodasi.
Sebagaimana dalam pelaksanaan pembelajaran pada mata pelajaran lainnya, tidak semua materi dapat menggunakan pendekatan konstruktivisme. Apalagi dalam mata pelajaran sejarah yang sifatnya lebih dominan pada kemampuan memahami untuk  “diingat-ingat,” sudah barang tentu tidak semua topik dapat diajarkan dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik. Namun demikian, yang lebih utama dalam pembelajaran sejarah skematik ini adalah orientasi atau fokus guru dalam mengajarkan konsep-konsep sejarah senantiasa berupaya melibatkan siswa aktif berpikir dan mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya dengan bantuan mengamati gambar-gambar, peta, grafik, skema, sketsa, foto atau bantuan benda manipulatif lainnya.
Di samping itu, berdasar pada pengalaman mengajar sejarah di SMA selama ini, siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan ini sering mengalami kesulitan. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator, pembantu, dan pembimbing siswa menemukan kembali (guided reinvention) konsep-konsep dan prinsip-prinsip sejarah, sebagaimana tuntutan kurikulum mata pelajaran sejarah yang berbasis pada  kompetensi (Depdiknas, 2006).
Dalam pembelajaran sejarah yang hanya dengan ceramah guru, menjadikan kegiatan siswa lebih banyak untuk mendengarkan dan mencatat. Proses adaptasi dalam pembentukan  skema dalam benak siswa tergolong “rendah”, dan akibatnya pengetahuan yang telah diserap mudah “terlupakan”. Siswa mencoba merekam dan menghafal apa yang sudah ia dengar, namun ilmu pengetahuan yang hanya dihafal semata tersebut tidak mampu bertahan lama di benak siswa, dan beberapa hari kemudian siswa “lupa” terhadap apa yang sudah dipelajarinya.
Untuk menyajikan pengetahuan sejarah sehingga siswa belajar secara lebih bermakna, tidak sekedar menghafal, diperlukan mediasi pembelajaran untuk membantu siswa menyerap informasi dan menyusun skema dalam benaknya sehingga skema tersebut dapat bertahan lama dan tidak mudah lupa. Untuk keperluan praktis dalam pembelajaran sejarah di kelas, penulis sependapat dengan Bruner bahwa pembelajaran sejarah perlu media untuk “konkretisasi” melalui langkah ikonik menuju abtraksi (Matherne, 1999).
Langkah-langkah pembelajaran sejarah dengan metode skematik sebagai berikut (Ernawati, 2006).
a.       Kegiatan Awal
Fase pembukaan
            Guru membuka pembelajaran, menyampaikan tujuan atau indikator pembelajaran, memeriksa pengetahuan prasyarat siswa, memberi motivasi, dan mengaitkan dengan masalah sehari-hari jika memungkinkan.
b.  Kegiatan inti
     Fase ikonik
Pada fase ini guru menjelaskan konsep-konsep dan prinsip-prinsip sejarah dengan pendekatan ikonik, yakni menjelaskan dengan menggunakan bantuan gambar-gambar, peta, grafik, tabel, skema, sketsa atau menggunakan bantuan benda manipulatif lainnya yang sesuai dengan materi pembelajaran.
     Fase diskusi
Pada fase ini siswa diberi tugas kelompok, misalnya memahami suatu topik atau tema sejarah. Siswa diminta menyusun kerangka pemikiran dalam topik atau tema tersebut dengan cara membuat atau menggunakan gambar, peta, grafik, tabel, skema atau sketsa.  Hasilnya dipresentasikan di depan kelas.
     Fase simbolik
Pada fase ini siswa diminta menulis hal-hal penting berkaitan dengan pengertian, definisi, karakteristik, konsep-konsep dan prinsip-prinsip  sejarah yang dipresentasikan oleh temannya. Jika siswa mengalami kesulitan guru memberikan bantuan dengan cara menuliskan kesimpulan dan makna dari materi yang dipelajari. .
c.  Kegiatan akhir
Fase penutup
Guru bersama sisiwa merangkum,memberi tugas misalnya pekerjaan rumah, dan menutup pembelajaran.

Untuk mengetahui apakah pembelajaran sejarah di SMA dengan  metode skematik dapat mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran sejarah di kelas, telah dilakukan  penelitian eksperimen di kelas X SMAN 1 Temanggung 0leh Ernawati, 2006. Salah satu hipotesis dalam penelitian sebagai berikut:  
Ho: Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar sejarah siswa SMA    yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran skematik dan  metode pembelajaran konvensional.
Ha: Ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar sejarah siswa SMA yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran skematik dan  metode pembelajaran konvensional.

Untuk menguji perbedaan rata-rata (mean) kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hipotesis tersebut, digunakan rumus t-statistik (Sonhadji, 1991; Sugiyono, 2007: 138).  Kriteria penarikan kesimpulan sebagai berikut: dengan taraf signifikansi alpha = 0, 05; jika t-statistik > t kritis menurut tabel atau t-statistik < - (t kritis menurut tabel); maka  Ho (hipotesis nol) ditolak. Analisis data yang diperoleh dari tes, disajikan berikut ini. Diperoleh t statistik =  7,836. Dengan taraf signifikansi alpha = 0, 05, nilai t kritis menurut tabel distribusi t adalah 2,035. Jadi dengan taraf signifikansi alpha  = 0, 05;  t-statistik > t kritis menurut tabel. Maka Ho (hipotesis nol) ditolak. Dengan demikian berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar sejarah siswa SMA yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran skematik dan  metode pembelajaran konvensional.
Berdasar hasil analisis hasil tes prestasi belajar untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh hasil sebagai berikut. Rata-rata prestasi belajar untuk kelas eksperimen 80,34375 (diatas standar ketuntasan belajar, yaitu 65 dengan skala 100) dengan nilai terendah 50 dan tertinggi 100. Rata-rata ini jauh lebih tinggi dari rata-rata prestasi belajar kelas kontrol 61,0625 dengan nilai terendah 43 dan tertinggi 79. Berdasar hasil analisis data ini, diperoleh simpulan bahwa pelaksanaan pembelajaran sejarah di SMA dengan menggunakan  metode pembelajaran skematik lebih baik dari pada menggunakan  metode pembelajaran konvensional.

Simpulan
1.      Pembelajaran sejarah di SMA dengan menggunakan metode pembelajaran skematik merupakan alternatif  pembelajaran sejarah yang mendasarkan pada psikologi kognitif yang mengacu pada teori Bruner.
2.      Pembelajaran sejarah di SMA dengan menggunakan  metode pembelajaran skematik lebih baik dari pada menggunakan  metode pembelajaran konvensional.

Saran
1.  Dalam pembelajaran sejarah guru seyogyanya menggunakan metode pembelajaran skematik dengan melibatkan siswa secara aktif belajar melalui mediasi gambar, grafik, peta, skema, tabel, sketsa, dan mediasi ikonik lainnya. 
2.  Guru dalam melaksanakan pembelajaran sejarah dengan metode pembelajaran skematik sejauh mungkin melibatkan siswa berpikir dan  aktif  mengkonstruksi pengetahuan sehingga dapat menjadikan siswa menyenangi dan memiliki ketertarikan dengan pelajaran sejarah.


Daftar Pustaka

Anggar Kaswati. 1998. Metodologi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta: Penerbit Beta Offset.
Depdiknas. 2006. Standar isi. Permendiknas No. 22 Tahun 2006. Kurikulum Sejarah SMA. Jakarta: Depdiknas.
Ernawati. 2006. Perbedaan Prestasi Belajar Antara Menggunakan Metode Pembelajaran Skematik dan Metode Pembelajaran Konvensional bagi Siswa Kelas X SMAN 1 Temanggung. Laporan Penelitian. Temanggung: SMA Negeri 1 Temanggung. (Laporan penelitian ini dipublikasikan melalui Perpustakaan Daerah Kabupaten Temanggung, dengan Surat Keterangan dari Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Temanggung, Kasi Manajemen Perpustakaan No. 007/AP/II/2007, tanggal 7 Februari 2007).
Flores, N. 2001. Jerome Bruner Educational Theory. NewFoundations. Analyst: Nocole Flores. Edited 6/22/01. http:/www.newfoundation.com/GALLERY/
Bruner.html.
Habib Mustopo. 2006. Sejarah: SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira.
Hartono Kasmadi. 1996. Model-model Dalam Pengajaran Sejarah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Matherne, B. 1999. The Process of Education by Jerome Bruner. Reader Journal. Book review by Bobby Matherne. Cambridge: Havard University Press, MA in 1963.
Nurhadi, Y, B, Senduk, A.G. 2004. Pembelajaran Konstekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
ProQuest. 2006. Using ProQuest Learning: History to Support Embedding ICT in History Teaching Learning.Cambridge: ProQuest Information and Learning. www. Proquestlearning.co.uk. download: 28 Juli 2006.
Radulovic, L dan Rojovic, V. 2004. How to Teach Serbian History Students about School Failure and Cultural Diversity. Download Internet: 24 Juli 2006.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allen and Bacon.
Sonhadji, A. 1991. Statistik Inferensial II. Makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Malang Angkatan XIV tahun 1991/1992, di Malang.
Sugiyono, 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Suparman, dkk. 1999. Sejarah Nasional dan Umum. Solo: Tiga Serangkai.
Supriyadi, Y. 2004. Perwara Budaya Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yogyakarta: Kalika.
Supriyadi, Y. 2005. Sumbangan Media dalam Pembelajaran Sejarah. Akademika. Jurnal Ilmiah Kependidikan. Vol. 4. No. 1, April 2005. Halaman 1-14. Wates: Pusat Penelitian & Pengembangan Pendidikan IKIP PGRI Wates.
Tim Bina Karya Guru. 1999. IPS Terpadu untuk SMA Kelas 5. Jakarta: Erlangga.
.