Oleh: Ernawati
(Guru Sejarah SMAN 1 Temanggung )
Abstrak
Di sekolah mata pelajaran sejarah termasuk dalam rumpun ilmu pengetahuan sosial, memiliki peran penting dalam andil membentuk watak dan kepribadian siswa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelajaran sejarah di SD/MI kurang mendapat penekanan dan perhatian, menjadikan kurang penguasaan siswa terhadap sejarah bangsa Indonesia. Pembelajaran sejarah di SD/MI selama ini berlangsung dengan metode ceramah ini menjadikan siswa menghapal sejarah, misalnya tahun-tahun peristiwa sejarah. Hapalan siswa kurang bermakna bagi dirinya dan berakibat siswa merasa jenuh dan bosan dengan pelajaran sejarah. Untuk mengoptimalkan pembelajaran sejarah, sejak dini siswa seyogyanya dikenalkan dengan konsep kronologi waktu dan menggunakan metode pembelajaran yang menarik, misalnya metode pembelajaran role playing dan simulasi, dan pemberian tugas. Pembelajaran sejarah cocok jika menggunakan teori pembelajaran Bruner dengan urutan langkah: enaktif (enactive) – ikonik (iconic) – simbolik (symbolic) yakni pembelajaran yang bermula dari hal-hal konkret menuju abstrak. Guru juga perlu memperhatikan konsep pembelajaran sejarah berkaitan dengan pertanyaan: (1) apa (what); (2) kapan (when); (3) di mana (where); (4) mengapa (why); (5) siapa (who); dan (6) bagaimana (how). Di samping itu, dengan menggunakan penilaian portofolio, guru akan melakukan berbagai bentuk penilaian secara kontinu dan wajar, berkesinambungan, membuat dokumentasi karya siswa secara berencana. Penilaian portofolio menuntut kreativitas guru untuk membelajarkan siswa secara bervariasi, melatih diri dalam kebiasaan dan keterampilan menulis, mendorong siswa agar melakukan evaluasi diri (self-evaluation). Dengan pengetahuan sejarah yang baik, siswa menjadi mampu mengetahui konteks setiap peristiwa yang dialaminya.
Kata kunci: pembelajaran sejarah, role playing, simulasi, kronologi waktu, enaktif, ikonik, simbolik, dan portofolio.
A. Pendahuluan
Berdasar Permendiknas No. 22 tahun 2006 (Standar Isi Kurikulum), di dalam kurikulum Sekolah Dasar mata pelajaran Sejarah mulai diberikan pada kelas IV termasuk dalam rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Standar kelulusan IPS SD/MI dicantumkan dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006 sebagai berikut: (1) memahami identitas diri dan keluarga, serta mewujudkan sikap saling menghormati dalam kemajemukan keluarga; (2) mendeskripsikan kedudukan dan peran anggota dalam keluarga dan lingkungan tetangga, serta kerja sama di antara keduanya; (3) memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi; (4) mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi; (5) menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah nasional, keragaman suku bangsa serta kegiatan ekonomi di Indonesia; (6) menghargai peranan tokoh pejuang dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia; (7) memahami perkembangan wilayah Indonesia, keadaan sosial negara di Asia Tenggara serta benua-benua; (8) mengenal gejala (peristiwa) alam yang terjadi di Indonesia dan negara tetangga, serta dapat melakukan tindakan dalam menghadapi bencana alam; dan (9) memahami peranan Indonesia di era global
Pentingnya mata pelajaran sejarah di SD/MI dalam rumpun IPS disebutkan pada bagian (3) dan (6) di atas. Oleh karena itu, pelaksanaan pembelajaran sejarah di SD/MI perlu ditingkatkan agar siswa nantinya dapat mencapai standar kelulusan sebagaimana yang diamanatkan dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelajaran sejarah di SD/MI kurang mendapat penekanan dan perhatian yang cukup dari guru, dalam arti guru kurang memberi penekanan pada pentingnya pelajaran sejarah bagi kehidupan siswa. Hal ini menjadikan pembelajaran sejarah di SD/MI kurang optimal. Muara dari kekurang-optimalan dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah ini adalah pada kurangnya penguasaan siswa terhadap sejarah bangsa Indonesia. Dampak yang lebih luas dari kurangnya pemahaman sejarah adalah siswa kurang memahami tentang perkembangan masyarakat dari masa lampau, kurang terhadap rasa kebangsaan dan cinta tanah air, kurang bangga menjadi warga Indonesia dan kurang memiliki wawasan yang luas tentang hubungan masyarakat antar negara dan antar bangsa di dunia.
Sejarah adalah mata pelajaran yang sangat penting dan andil dalam membentuk watak bangsa. Susanto, Asisten Deputi Urusan Sejarah Nasional, Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan (dalam Republika 19 November 2004) menyatakan “sejatinya pengetahuan tentang sejarah itu sangatlah penting”. Dengan pengetahuan sejarah yang baik, setiap siswa menjadi mampu mengetahui konteks setiap peristiwa yang dialaminya.
Sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di Indonesia pada umumnya masih menggunakan sistem guru kelas, sehingga seorang guru sekolah dasar harus memiliki kemampuan di semua bidang mata pelajaran yang diajarkan, termasuk harus mampu melaksanakan proses pembelajaran sejarah dengan baik sehingga dapat sukses mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Salah satu masalah yang dihadapi guru adalah bagaimana cara yang efektif dan efisien untuk dapat melaksanakan pembelajaran sejarah di SD/MI agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara optimal.
Dalam tulisan ini disajikan pendekatan pembelajaran sejarah di SD/MI yang efektif dan efisien. Efektif yang dimaksud di sini adalah guru dapat melaksanakan pembelajaran sejarah yang menarik dan menyenangkan siswa, dan dapat mencapai tujuan yang ditetapkan oleh guru. Efisien diartikan berdaya guna dengan waktu pembelajaran yang relatif singkat sebagaimana waktu yang telah dialokasikan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
B. Pembahasan
a. Kelemahan Pembelajaran Sejarah dengan Metode Ceramah
Menurut Piaget (1963) usia anak sekolah dasar antara tujuh sampai sebelas atau dua belas tahun tingkat intelektual dalam belajarnya berada pada tingkat operasional konkret. Sedangkan menurut seorang psikolog pemerhati pendidikan Seto Mulyadi dalam acara Talk Show Kick Andy tanggal 6 Maret 2008 di Metro TV mengatakan bahwa: “anak-anak adalah peniru yang paling baik”. Sejak kecil anak-anak berusaha meniru orang dewasa. Berdasar ungkapan Seto Mulyadi ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak akan belajar dan dapat cepat mengerti dengan cara menirukan contoh-contoh perilaku.
Dengan memperhatikan pendapat Piaget dan Seto Mulyadi di atas, perlu ada upaya oleh para guru di SD/MI dalam menyesuaikan atau mencocokkan teori-teori belajar dengan metode-metode mengajar yang tepat, tak terkecuali pada pembelajaran sejarah. Namun akhir-akhir ini, seiring dengan berlakunya kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi berkembang pula berbagai metode pembelajaran sejarah di SD/MI. Ada banyak metode pembelajaran sejarah yang dapat digunakan dan dikembangkan oleh guru di SD/MI.
Metode ceramah dengan penekanan pada dominasi guru memberi informasi dan siswa menghapal adalah metode yang paling sering digunakan oleh guru. Namun metode ini sebetulnya kurang cocok bila diterapkan pada siswa SD/MI tanpa dipadukan dengan metode yang lain. Dengan metode ceramah ini menjadikan siswa menghapal sejarah, misalnya tahun-tahun peristiwa sejarah. Hapalan siswa kurang bermakna bagi dirinya dan berakibat siswa merasa jenuh dan bosan dengan pelajaran sejarah.
Sejarawan Gonggong (dalam Republika 19 November 2004) mengakui tentang adanya tingkat kejenuhan yang tinggi pada pembelajaran dengan menggunakan ceramah saja. Menurutnya bahwa pelajaran sejarah sebenarnya dapat dikemas menjadi sangat menarik. Misalnya pelajaran sejarah akan lebih menarik jika disampaikan dengan cara seperti mendongeng. Para guru diharuskan mampu menghadirkan tokoh sejarah yang sedang menjadi bahan pembahasan secara utuh. Jadi saat guru berbicara, tokoh itu seolah-olah muncul di depan kelas. Jika cara tersebut berhasil dijalankan, dia mengaku optimis, pelajaran sejarah akan menjadi sangat menarik bagi para siswa. Menurut Gonggong guru harus lebih kreatif dalam mengemas pembelajaran sejarah agar daya tarik siswa untuk mempelajarinya terdongkrak.
Salah satu alternatif untuk mengurangi tingkat kejenuhan dan rasa bosan siswa, guru harus pandai-pandai memilih metode pembelajaran yang tepat. Dengan metode pembelajaran yang tepat siswa akan terlibat secara aktif mengikuti pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan perkataan lain, guru harus kreatif memilih atau memadukan berbagai metode pembelajaran sejarah sebagai alternatif pengganti metode ceramah.
Tentang perlunya kreatifitas guru dalam pembelajaran sejarah dikuatkan oleh pendapat Kepala Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kebumen yang disampaikan dalam pidato pembukaan Workshop MGMP Sejarah Rintisan Sekolah Nasional Bertaraf Internasional se Jawa Tengah tanggal 28 Pebruari 2008 yang intinya guru dalam melaksanakan pembelajaran diibaratkan sebagai seorang koki, harus pandai meramu bumbu-bumbu dengan tepat dan mengolah masakan dengan benar sehingga menghasilkan masakan yang lezat. Tidak lain maksudnya adalah guru harus kreatif memadu beberapa metode mengajar, dan menghasilkan metode pembelajaran yang menarik.
Di sisi lain, pembelajaran sejarah di SD/MI secara formal diberikan di kelas IV. Namun demikian secara informal perlu diberikan dasar-dasar sejarah sejak awal, yakni mulai kelas I. Dasar-dasar sejarah yang penting adalah pemahaman tentang konsep sejarah misalnya konsep tentang peristiwa yang kejadiannya di masa lampau. Dengan demikian konsep waktu menjadi penting dalam belajar sejarah.
b. Pengenalan Konsep Kronologi Waktu
Untuk pembelajaran sejarah di SD/MI, kesulitan yang dihadapi oleh guru adalah memilih metode yang tepat untuk menanamkan konsep-konsep sejarah. Sebagai contoh tentang konsep bangsa, negara, demokrasi, peristiwa pra sejarah, dan sebagainya, yang sifatnya ”abstrak” dan merupakan peristiwa masa lalu. Maka untuk itu, guru harus pandai memadukan berbagai bentuk, cara atau metode agar pengajaran yang disampaikan dapat bermakna bagi siswa. Sebagai contoh, salah satu konsep dasar pengenalan sejarah adalah konsep waktu. Seyogyanya konsep tentang waktu ini sudah dikenalkan kepada siswa se dini mungkin, sehingga ketika ia duduk di kelas IV sudah mengenal dan memahami konsep waktu dengan baik.
Untuk mengenalkan konsep waktu, sejak kelas I siswa dibiasakan mendengarkan guru bercerita yang didahului dengan ungkapan ”pada zaman dahulu kala [...]”, meski belum perlu memberi penjelasan lebih lanjut kapan dan bagaimana peristiwa itu tepatnya terjadi. Hal itu disebabkan karena siswa kelas I belum dapat memahami dengan baik kalau guru mengatakan atau bercerita bahwa ini adalah peristiwa yang terjadi ”pada zaman pra sejarah”, atau ”pada zaman neolithikum”, misalnya. Maka guru cukup dengan mengatakan atau menyebut ”pada zaman dahulu kala”. Dengan cara seperti ini, siswa mulai mengenal konsep waktu dengan cara bebas menafsirkan sendiri dalam imajinasinya kira-kira kapan rentangan waktu peristiwa sejarah itu terjadi.
Di kelas berikutnya, yaitu kelas II, ketika siswa sudah mulai belajar dan memahami angka-angka dan huruf-huruf, pemahaman tentang waktu dapat ditingkatkan secara lebih terinci. Misalnya guru dapat mulai mengajarkan waktu 24 jam sehari melalui jadwal kegiatan siswa sehari-hari, mulai dari bangun tidur, makan pagi, pergi ke sekolah, pulang dari sekolah, istirahat, belajar dan seterusnya sampai siswa masuk pada waktu tidur. Guru dapat memberikan contoh gambar jam dengan angka-angkanya, dan anak akan menunjukkan waktu-waktu kapan kegiatan itu akan dilakukan. Guru juga dapat menugaskan pada anak untuk membuat jadwal kegiatan sehari-hari siswa di rumah, misalnya dengan menggunakan tabel.
Di kelas III, ketika siswa belajar tentang keluarga, pemahaman tentang kronologi waktu secara tepat mulai diperkenalkan. Pakailah garis waktu atau time line, dan buatlah rentangan waktu secara linier, bisa secara horizontal atau vertikal. Tempatkanlah waktu-waktu kapan bapak, ibu, kakak atau adiknya dilahirkan. Dengan cara seperti ini, akan tergambarkan perspektif waktu dan posisi dirinya sendiri di antara keberadaan individu keluarganya. Dengan cara demikian awal dari pemahaman kronologi runtun waktu siswa sudah dimulai, karena garis waktu keluarga itu secara analog dapat diterapkan kepada pengenalan kronologi waktu sejarah.
Pada waktu pelajaran sejarah di kelas IV dimulai, guru dapat menggunakan garis waktu ini untuk menjelaskan periodisasi sejarah, misalnya untuk menerangkan urutan kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia, terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, dan peristiwa sejarah lainnya yang berkaitan dengan runtun waktu. Di kelas V, guru dapat menggunakan garis waktu secara vertikal dan horisontal untuk menjelaskan apa yang terjadi di suatu daerah dan apa yang terjadi di daerah lain di Indonesia dalam kurun waktu yang sama. Dengan cara seperti ini pikiran siswa akan lebih ”hidup” karena dapat membandingkan dan membuat analogi dari dua atau beberapa peristiwa. Penggunaan garis waktu atau time line secara kompleks dapat digunakan untuk perspektif sejarah dunia, mungkin dasar-dasarnya dapat dilakukan pada siwa kelas VI sebagai persiapan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu jenjang SLTP atau yang sederajat.
Untuk pemahaman tentang kronologi waktu sejarah lainnya dapat dengan menggunakan garis waktu. Guru sebaiknya melatih siswa kepada pemahaman membedakan masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Cara-cara lain untuk menanamkan konsep waktu dan perspektif kepada siswa juga dapat dilakukan dengan mengajak anak membuat identifikasi temporal dari cerita atau bahasa naratif sejarah, membuat peta sejarah, membuat bagan, tabel dan bagan-bagan grafis lainnya yang menggabungkan angka-angka tahun dan peristiwa sejarah.
c. Metode Role Playing dan Simulasi
Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, pembelajaran sejarah di SD/MI dengan metode ceramah menimbulkan rasa bosan dan jenuh pada siswa. Kejemuan dan kebosanan ini timbul ketika guru hanya bercerita atau membaca dari buku saja dan siswa diminta menghapalkannya. Sebaliknya, pelajaran sejarah akan menjadi ”hidup” di kelas, apabila guru melibatkan para siswa pada kegiatan yang melibatkan keterlibatan atau peran serta siswa dalam proses pembelajaran. Karena sejarah berkaitan dengan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau, maka keterlibatan siswa dalam menerapkan pengetahuan konsep kronologi waktu adalah dominan. Agar siswa lebih memahami peristiwa kejadian masa lalu dengan lebih baik, maka perlu ”konkretisasi” misalnya melalui simulasi bermain memerankan tokoh-tokoh sejarah.
Memainkan peran atau role playing merupakan kegiatan mengulang sebuah peristiwa dan simulasi adalah bentuk-bentuk kegiatan belajar yang menurut penulis disukai oleh siswa dalam belajar sejarah. Dalam memainkan peran, pilihlah skenario sejarah yang menarik, misalnya kisah Ken Arok dan Ken Dedes, dan bagikanlah tokoh-tokoh sejarah dalam peristiwa sejarah itu untuk dimainkan atau diperankan oleh beberapa siswa. Jelaskan tokoh apa yang harus mereka perankan, dan garis besar yang akan mereka katakan (dialog), selebihnya pada bagian yang kurang pokok biarkanlah siswa berimprovisasi sendiri, tentu dengan bimbingan dan pengarahan dari guru. Kemudian setelah semuanya siap, tampilkan ”drama” di depan kelas. Siswa termasuk yang tidak teribat bermain ”drama’ akan menangkap pemahaman yang lebih banyak dari peristiwa sejarah yang ditampilkan. Sebagai dampak pengiring siswa dapat belajar tentang nilai dari karakter masing-masing tokoh sejarah yang diperankan.
Mengulang kembali suatu peristiwa sejarah akan memberikan deskripsi visual kepada siswa, misalnya peristiwa Sumpah Pemuda 1928, atau Proklamasi Kemerdekaan RI di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta dapat ditampilkan dalam bentuk ”drama” di kelas. Kegiatan ini kecuali membelajarkan kepada siswa tentang latar belakang sejarah dari peristiwa tersebut, juga membelajarkan siswa tentang teks-teks Sumpah Pemuda atau Proklamasi Kemerdekaan RI, lagu kebangsaan Indonesia Raya, upacara penghormatan bendera Merah-Putih dan identifikasi sikap heroik tokoh-tokoh sejarah.
Ada beberapa topik sejarah yang dapat disajikan dengan simulasi. Simulasi dapat dilakukan oleh guru di kelas, antara lain untuk menunjukkan konsep “abstrak” misalnya bagaimana suatu keputusan yang penting diambil atau ditetapkan. Misalnya suatu kejadian yang menentukan akibat dari proses pengambilan keputusan dalam peristiwa menyerahnya Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang, pada tanggal 8 Maret 1942. Guru dapat menggunakan peta situasi dengan menempatkan sebuah meja perundingan di depan kelas dikelilingi oleh para aktor sejarah, yang dimainkan oleh siswa. Jelaskanlah peran masing-masing siswa, dan keputusan apa yang diambil. Siswa baik yang terlibat dalam kegiatan simulasi ataupun siswa lain di kelas yang mengamatinya, akan menangkap pesan bagaimana suatu keputusan diambil, dan betapa keputusan itu mempengaruhi kehidupan sebuah bangsa, bahkan mempengaruhi situasi dunia pada waktu itu.
d. Metode Pemberian Tugas
Di samping berbagai kegiatan aktif siswa, pembelajaran sejarah sebaiknya diseimbangkan dengan kegiatan lain yang bersifat reflektif dan kritis. Untuk keseimbangan siswa sebagai individu dan bagian dari kelompok dapat dilakukan dengan melaksanakan pembelajaran sejarah dengan metode penugasan baik secara perorangan maupun kelompok. Tugas kelompok dapat dilakukan dengan membagi siswa dalam kelompok-kelompok untuk mengerjakan tugas-tugas seperti membuat peta sejarah, bagan sejarah, flow chart, tabel dan benda-benda grafis lainnya, dan membuat silsilah dinasti raja-raja. Tugas perorangan adalah tugas yang harus dikerjakan siswa secara mandiri, sebagai contoh tugas membuat silsilah keluarga, membuat autobiografi, atau biografi tokoh sejarah.
Untuk menggali potensi siswa dalam aspek-aspek akademik ini, siswa diminta membuat tulisan (karangan) biografi tentang tokoh sejarah yang ia kagumi. Agar sesuai dengan konsep kronologi waktu yang spiral, yakni mulailah dari lingkungan kehidupan siswa terdekat untuk kemudian dikembangkan, diperluas, dan diperdalam, pilihlah tokoh sejarah lokal agar siswa lebih mengerti karena terkait dengan lingkungan kehidupannya. Dalam biografi itu siswa diminta mencantumkan nama lengkap sang tokoh, tempat dan waktu dilahirkan, keluarganya, harapan dan cita-citanya, apa yang diperjuangkan, kepemimpinannya dan akhir hayatnya. Tentu saja siswa dapat mencantumkan juga kutipan-kutipan dari tokoh itu atau slogan-slogan perjuangan yang termasyhur, atau melengkapinya dengan silsilah, gambar dan peta. Siswa kemudian diminta mengemukakan pendapatnya tentang tokoh tersebut, karakter tokoh bagaimana yang dikagumi, analisis keberhasilan dan kegagalan, dan kesan umumnya.
Bagi siswa yang menyukai penyajian dalam bentuk sastra puisi, dapat menuliskan biografi tokoh dalam bentuk sajak (bio-poem), atau laporan singkat dalam bentuk telaah buku dari biografi atau memoir dari seorang tokoh, novel, kisah sejarah, dan lainnya. Tentu saja kisah atau peristiwa sejarah tersebut ditulis dalam bahasa yang sederhana, jelas, serta berada dalam jangkauan usia dan perkembangan siswa.
e. Pembelajaran Sejarah Menurut Teori Bruner
Bruner seorang ahli pendidikan dari Amerika menjelaskan tentang konsep belajar, bahwa belajar yang efektif dan komprehensif diperoleh dengan cara belajar konsep dan struktur ilmu yang sedang dipelajari. Untuk usia siswa sekolah dasar guru harus dapat mengajarkan struktur dan konsep sejarah yang disederhanakan disesuaikan dengan usia dan perkembangan mental siswa.
Sampai saat ini teori pembelajaran Bruner masih berpengaruh dalam dunia pendidikan. Secara teoritis pembelajaran menurut teori Bruner (dalam Materney, 1999) mengikuti langkah: enaktif (enactive) – ikonik (iconic) – simbolik (symbolic) yakni pembelajaran yang bermula dari hal-hal konkret menuju abstrak.
Contoh kegiatan siswa pada tahap enaktif adalah belajar dengan menggunakan beberapa aspek realitas atau objek langsung yang diketahui tanpa menggunakan kata atau imajinasi. Hal ini bisa diterapkan misalnya jika guru ingin menjelaskan konsep demokrasi dapat dilakukan dengan mengajak siswa mengamati secara langsung proses jalannya pemilihan ketua kelas. Dalam pembelajaran sejarah misalnya siswa diajak tamasya ke candi-candi untuk melihat langsung candi peninggalan sejarah.
Pada tahap ikonik siswa belajar menggunakan benda-benda manipulatif misalnya gambar, peta, grafik, tabel, seketsa, atau materi yang dapat dibayangkan oleh siswa. Pada tahap ini siswa terlibat dengan imajinasi internal (internal imagenary) dan sejumlah pengetahuan dikarakteristikkan dengan imajinasi dalam benak yang mewakili konsep. Penyajian materi pada tahap ini bergantung pada penglihatan dan pemakaian indera lainnya.
Penggunaan benda-benda manipulatif pada tingkat ikonik dapat dilakukan misalnya ketika guru mengajarkan konsep wilayah suatu kerajaan. Pembelajaran sejarah dapat dilakukan dengan bantuan peta atau gambar. Konsep tentang candi dapat menggunakan bantuan maket candi. Konsep waktu (periodisasi dan kronologi) dapat menggunakan bantuan gambar garis waktu (time line).
Pada tahap simbolik siswa diajak belajar menggunakan simbol-simbol dan melakukan abstraksi tanpa menggunakan bantuan atau mediasi benda-benda manipulatif. Misalnya siswa diajak menyusun urutan nama-nama raja yang pernah berkuasa di suatu kerajaan, termasuk ketika mengomentari peran masing raja dalam masa pemerintahannya.
Yang tidak kalah penting diketahui oleh para guru sejarah, termasuk guru SD/MI, bahwa konsep pembelajaran sejarah menyangkut konsep yang berkaitan dengan pertanyaan: (1) apa (what); (2) kapan (when); (3) di mana (where); (4) mengapa (why); (5) siapa (who); dan (6) bagaimana (how). Misalnya pembelajaran konsep kerajaan Singasari dalam konteks pergantian kekuasaan dari Raja Ken Arok ke Raja Anusapati. Guru dapat merumuskan pertanyaan atau pernyataan tentang: apa peristiwa yang terjadi sekitar suksesi di kerajaan singasari; kapan suksesi tersebut berlangsung; di mana peristiwa penting sekitar suksesi terjadi; mengapa terjadi suksesi; siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa suksesi; dan bagaimana proses atau jalannya persitiwa suksesi.
f. Penilaian Portofolio
Guru sewaktu-waktu dapat melakukan penilaian terhadap apa yang telah dicapai oleh siswa. Pada umumnya guru hanya menilai peraihan pengetahuan (kognitif) siswa, yaitu dengan cara memberikan tes tertulis. Padahal, berdasar paparan di atas banyak kegiatan yang dilakukan oleh siswa di kelas yang tidak tercakup oleh tes tertulis, apabila kegiatan siswa tersebut tidak diberikan penilaian oleh guru menjadikan siswa akan kurang dihargai dan diperlakukan secara tidak adil. Guru hanya menilai hasil belajar kognitif siswa saja, tetapi tidak menilai dalam proses belajarnya termasuk sikapnya. Semestinya tugas membuat bagan, garis waktu, membuat silsilah, laporan kunjungan ke situs sejarah, bermain peran, simulasi perlu mendapat penilaian dari guru.
Agar guru melakukan penilaian yang lengkap dan menyeluruh, kumpulkanlah setiap kegiatan (tugas baik perorangan maupun kelompok) dan hasil-hasil tes tertulis siswa dalam suatu tempat, map misalnya. Setiap siswa mempunyai map masing-masing, dan kumpulan inilah yang disebut portofolio. Dengan penilaian portofolio (assesment portfolio), guru dapat mengoreksi berkas-berkas bukti kemampuan belajar siswa dari waktu ke waktu secara konkret untuk dijadikan bahan penilaian. Informasi atau data siswa ini mencakup baik penilaian objektif dari tes-tes yang dilakukan guru terhadap siswanya, maupun hasil pengamatan atau observasi guru dari partisipasi siswa di dalam semua kegiatan pembelajaran yang mengandung bukan hanya peraihan kogniitif melainkan juga peraihan nilai-nilai perilaku yakni yang berguna untuk pembentukan sikap dan tingkat kesadaran sejarah siswa. Sebaiknya isi portofolio didahului dengan catatan tentang identitas dan biodata singkat dari siswa, diikuti hasil tes-tes tertulis, ditambah dengan penilaian dan berkas dari tugas-tugas membuat bagan silsilah, peta sejarah, bagan dan tabel sejarah, simulasi, role playing, laporan kunjungan ke situs sejarah, penulisan biografi tokoh sejarah, perdebatan sejarah dan lain-lain termasuk piagam penghargaan.
Dengan menggunakan penilaian portofolio, guru akan melakukan berbagai bentuk penilaian secara kontinu dan wajar, berkesinambungan, membuat dokumentasi karya siswa secara berencana. Tentu saja penilaian portofolio akan mubazir (kurang berguna) apabila guru hanya melakukan pembelajaran sejarah dengan metode ceramah atau membacakan materi bahasan dari buku teks saja. Penilaian portofolio menuntut kreativitas guru untuk membelajarkan siswa secara bervariasi, melatih diri dalam kebiasaan dan keterampilan menulis, mendorong siswa agar melakukan evaliasi diri (self-evaluation), dan guru perlu memberitahu atau membicarakan terlebih dahulu prosedur penilaian agar siswa mengetahui apa yang harus dilakukan, serta kesepakatan tentang bentuk-bentuk penilaian untuk mendorong siswa aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar-mengajar.
Dari isi portofolio inilah penilaian hasil dan proses belajar siswa dikomunikasikan kepada siswanya sendiri untuk digunakan siswa sebagai “evaluasi diri” dan juga sebagai laporan kepada orang tuanya. Di samping itu, untuk bahan laporan penilaian baik untuk kepentingan administrasi pendidikan yang dituntut oleh sekolah atau institusi pendidikan yang lebih tinggi, misalnya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atau Depdiknas.
C. Penutup
a. Simpulan
1) Pembelajaran sejarah di SD/MI selama ini dilakukan oleh guru dengan menggunakan metode ceramah. Guru mendominasi kelas dengan memberi informasi dan siswa menghafalkan runtun waktu dan peristiwa sejarah tanpa makna. Pada diri siswa timbul kejenuhan dan kebosanan terhadap mata pelajaran sejarah. Akibatnya pembelajaran sejarah menjadi kurang optimal.
2) Salah satu cara untuk mengoptimalkan pembelajaran sejarah di SD/MI adalah guru harus kreatif memilih atau memadukan beberapa metode pembelajaran. Beberapa alternatif metode pembelajaran sejarah yang diprediksi dapat menarik dan menyenangkan siswa adalah metode pembelajaran sejarah: (1) role playing; (2) simulasi; dan (3) pemberian tugas.
3) Pembelajaran sejarah di SD/MI dengan mengacu teori Bruner cocok dan dapat dilaksanakan guru dalam rangka untuk mengoptimalkan pencapaian hasil belajar sejarah siswa.
4) Sebagai kelengkapan proses pembelajaran sejarah di SD/MI adalah penilaian. Sistem penilaian yang mencakup segi kognitif, sikap, dan keterampilan dikemas dalam penilaian portofolio. Penilaian portofolio juga berguna untuk penilaian diri (self-evaluation) siswa, untuk laporan hasil belajar sejarah siswa kepada orang tua/wali, dan untuk laporan kepada sekolah termasuk kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, jika diperlukan.
b. Saran
1) Agar pembelajaran sejarah di SD/MI lebih optimal guru seyogyanya bersifat kreatif selalu mencari metode yang tepat sesuai dengan karakteristik materi pokok.
2) Dalam melaksanakan penilaian dalam pembelajaran sejarah di sekolah dasar tidak hanya dari hasil tes tertulis yang bersifat kognitif, tetapi juga melakukan penilaian sikap dan keterampilan. Semuanya dikemas dalam penilaian melalui portofolio.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2006. Kurikulum Sejarah Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006a. Permendiknas No. 22 tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006b. Permendiknas No. 23 tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.
Ernawati dan Sujatmika. 2006. Perbedaan Prestasi Belajar Sejarah Antara Menggunakan Metode Pembelajaran Skematik dan Metode Pembelajaran Konvensional bagi Siswa Kelas X SMAN 1 Temanggung. Laporan Penelitian (dibiayai DIPA Balitbang Depdiknas). Temanggung: SMAN 1 Temanggung
Ernawati. 2002. Petunjuk Penulisan Karya Ilmiah Sederhana untuk Siswa. Buku Teks. Temanggung: SMAN 1 Temanggung
Ernawati. 1998. Sejarah Nasional dan Umum untuk Semester 1 dan 2 Kelas 2 IPA/IPS/Bahasa. Modul. Temanggung: SMAN 1 Temanggung.
Ernawati, dkk. 1988. Intensitas Kegiatan Siswa SMU di Luar Jam Sekolah. Laporan Penelitian. Temanggung: SMAN 1 Temanggung.
Fokus. 2000. Acuan Pengayaan: Ilmu Pengetahuan Sosial untuk kelas IV SD. Surakarta: PT Nyata Grafika Media.
Imran, A, dkk.1998. Sejarah Nasional dan Umum. Depdikbud. Jakarta: Balai Pustaka.
Listiani, D.A, dkk. 1994. Media Profesional Sejarah. Surakarta: Mediatama.
Matherne, B. 1999. The Process of Education. Reader Journal. Book review by Bobby Matherne. Cambrige: Havard University Press.
ProQuest. 2006. Using ProQuest Learning: History to Support Embedding ICT in History Teaching Learning.Cambridge: ProQuest Information and Learning. www. Proquestlearning.co.uk. download: 28 Juli 2006.
Radulovic, L dan Rojovic, V. 2004. How to Teach Serbian History Students about School Failure and Cultural Diversity. Download Internet: 24 Juli 2006.
Republika. 2004. Menyegarkan Pengajaran Sejarah Lewat Lomba Menulis. 19 Nopember 2004. Jakarta: Surat Kabar Republika.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allen and Bacon.
Suharman. 2005. Sejarah Masyarakat Indonesia (dalam Pendekatan Sosio Historis). Yogyakarta: IKIP PGRI Wates.
Suparman, dkk. 1999. Sejarah Nasional dan Umum. Solo: Tiga Serangkai.
Supriyadi. 2006. Perwara Budaya Islam. Yogyakarta: Kalika.
Tim Bina Karya Guru. 1999. IPS Terpadu untuk Sekolah Dasar Kelas 5. Jakarta: Erlangga.
Kamis, 05 November 2009
Sabtu, 17 Oktober 2009
SEJARAH SMA
SEJARAH MENYENANGKAN
Pembelajaran sejarah konvensional yang selama ini dilakukan oleh guru SMA biasanya menggunakan pola guru berceramah, peserta didik mendengarkan dan mencatat, guru sekali-kali bertanya dan perserta didik menjawab pertanyaan guru. Pembelajaran didominasi oleh guru dan peserta didik diminta menghapal peristiwa sejarah. Pmebelajaran seperti ini menjadikan peserta didik jemu dan merasa bosan, akibatnya banyak peserta didik yang pasif dalam mengikuti pembelajaran dan bahkan beberapa peserta didik terkantuk-kantuk ketika mengikuti pembelajaran, apalagi bila berlangsungnya pembelajaran di siang hari.
Menurut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) SMAN 1 Temanggung, tatap muka pembelajaran sejarah di setiap kelas yang ada pelajaran sejarahnya berlangsung satu kali dalam satu minggu dengan waktu satu jam. Pelaksanaan pembelajaran sejarah dengan metode browsing internet dalam penelitian tindakan kelas ini merupakan alternatif pembelajaran sejarah di SMA yang dapat memperbaiki proses pembelajaran sejarah di kelas.
Pola pembelajaran sejarah dengan menggunakan metode browsing internet sebagai berikut. Pada pertemuan pertama peserta didik diberi tugas membuat ringkasan materi sejarah dengan disertai beberapa petunjuk penekanan atau fokus yang perlu digali (explore), misalnya membuat ringkasan materi masyarakat pra sejarah ditinjau dari segi budaya. Para peserta didik kemudian diajak ke laboratorium komputer dan mengakses internet untuk melacak materi sejarah yang berkaitan dengan tugas yang diberikan. Peserta didik membuat ringkasan dan hasilnya dikumpulkan kepada guru. Pada akhir pertemuan pertama guru memberi tugas kepada peserta didik untuk memperbaiki ringkasan atau rangkuman dari materi yang dipelajari, peserta didik dapat melengkapi dengan literatur buku-buku sejarah. Pada pertemuan kedua peserta didik peserta didik pembelajaran dilaksanakan dengan metode kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 peserta didik. Masing-masing kelompok berdiskusi dan membuat resume atau rangkuman materi yang dipelajari minggu lalu melalui browsing internet. Beberapa kelompok mempresentasikan hasilnya di kelas dan kelompok lainnya menanggapi. Pada pertemuan ketiga dilakukan tes hasil belajar untuk menguji kemampuan atau pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari.
Melalui pembelajaran sejarah dengan metode browsing internet sebagaimana di sebutkan di atas, mengurangi dominasi guru di kelas dan peserta didik terlibat aktif belajar secara divergen berdasar kemampuan peserta didik sendiri. Peserta didik memiliki kebebasan dalam menggali materi sejarah dan menulis dalam bentuk ringkasan menurut pemahaman, gaya dan bahasa masing-masing peserta didik. Di samping itu, peserta didik menjadi memiliki pengetahuan yang luas dari sekedar tugas yang diberikan. Ini dikarenakan ketika peserta didik melakukan browsing internet, peserta didik juga “terpaksa” membaca berbagai tulisan sejarah lainnya, apakah sesuai dengan materi sebagai tugas yang diberikan kepadanya.
Berdasar pengamatan terjadi peningkatan aktivitas peserta didik dalam belajar sejarah di banding dengan pembelajaran sejarah konvensional. Bahkan para peserta didik merasa senang dan tidak mengantuk mempelajari materi sejarah dengan cara seperti itu. Di bawah bimbingan guru, peserta didik terlibat secara langsung membuat ringkasan materi. Keragaman hasil ringkasan menunjukkan divergensi kemampuan peserta didik dalam belajar sejarah. Melalui diskusi dan presentasi di kelas di bawah pimpinan guru, menjadikan pengetahuan dasar peserta didik tentang materi yang dipelajari “terseragamkan”. Dalam diskusi dan presentasi di kelas ini, guru dapat melakukan perbaikan dan memperluas pengetahuan peserta didik tentang materi yang sedang dipelajari peserta didik.
Untuk mengukur pemahaman dan kemampuan peserta didik secara individu dilakukan tes hasil belajar. Kegiatan ini menuntut peserta didik lebih dalam lagi mempelajari materi yang sedang dibahas dalam rangka persiapan tes. Secara kualitatif kemampuan peserta didik bertambah. Hasil tes berupa nilai, secara kuantitatif menunjukkan pemahaman dan kemampuan peserta didik dalam mempelajari materi yang ditugaskan guru. Dengan demikian baik proses maupun hasil dalam pembelajaran sejarah dengan metode ini dapat dikendalikan dan dipantau oleh guru.
Pembelajaran sejarah konvensional yang selama ini dilakukan oleh guru SMA biasanya menggunakan pola guru berceramah, peserta didik mendengarkan dan mencatat, guru sekali-kali bertanya dan perserta didik menjawab pertanyaan guru. Pembelajaran didominasi oleh guru dan peserta didik diminta menghapal peristiwa sejarah. Pmebelajaran seperti ini menjadikan peserta didik jemu dan merasa bosan, akibatnya banyak peserta didik yang pasif dalam mengikuti pembelajaran dan bahkan beberapa peserta didik terkantuk-kantuk ketika mengikuti pembelajaran, apalagi bila berlangsungnya pembelajaran di siang hari.
Menurut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) SMAN 1 Temanggung, tatap muka pembelajaran sejarah di setiap kelas yang ada pelajaran sejarahnya berlangsung satu kali dalam satu minggu dengan waktu satu jam. Pelaksanaan pembelajaran sejarah dengan metode browsing internet dalam penelitian tindakan kelas ini merupakan alternatif pembelajaran sejarah di SMA yang dapat memperbaiki proses pembelajaran sejarah di kelas.
Pola pembelajaran sejarah dengan menggunakan metode browsing internet sebagai berikut. Pada pertemuan pertama peserta didik diberi tugas membuat ringkasan materi sejarah dengan disertai beberapa petunjuk penekanan atau fokus yang perlu digali (explore), misalnya membuat ringkasan materi masyarakat pra sejarah ditinjau dari segi budaya. Para peserta didik kemudian diajak ke laboratorium komputer dan mengakses internet untuk melacak materi sejarah yang berkaitan dengan tugas yang diberikan. Peserta didik membuat ringkasan dan hasilnya dikumpulkan kepada guru. Pada akhir pertemuan pertama guru memberi tugas kepada peserta didik untuk memperbaiki ringkasan atau rangkuman dari materi yang dipelajari, peserta didik dapat melengkapi dengan literatur buku-buku sejarah. Pada pertemuan kedua peserta didik peserta didik pembelajaran dilaksanakan dengan metode kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 peserta didik. Masing-masing kelompok berdiskusi dan membuat resume atau rangkuman materi yang dipelajari minggu lalu melalui browsing internet. Beberapa kelompok mempresentasikan hasilnya di kelas dan kelompok lainnya menanggapi. Pada pertemuan ketiga dilakukan tes hasil belajar untuk menguji kemampuan atau pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari.
Melalui pembelajaran sejarah dengan metode browsing internet sebagaimana di sebutkan di atas, mengurangi dominasi guru di kelas dan peserta didik terlibat aktif belajar secara divergen berdasar kemampuan peserta didik sendiri. Peserta didik memiliki kebebasan dalam menggali materi sejarah dan menulis dalam bentuk ringkasan menurut pemahaman, gaya dan bahasa masing-masing peserta didik. Di samping itu, peserta didik menjadi memiliki pengetahuan yang luas dari sekedar tugas yang diberikan. Ini dikarenakan ketika peserta didik melakukan browsing internet, peserta didik juga “terpaksa” membaca berbagai tulisan sejarah lainnya, apakah sesuai dengan materi sebagai tugas yang diberikan kepadanya.
Berdasar pengamatan terjadi peningkatan aktivitas peserta didik dalam belajar sejarah di banding dengan pembelajaran sejarah konvensional. Bahkan para peserta didik merasa senang dan tidak mengantuk mempelajari materi sejarah dengan cara seperti itu. Di bawah bimbingan guru, peserta didik terlibat secara langsung membuat ringkasan materi. Keragaman hasil ringkasan menunjukkan divergensi kemampuan peserta didik dalam belajar sejarah. Melalui diskusi dan presentasi di kelas di bawah pimpinan guru, menjadikan pengetahuan dasar peserta didik tentang materi yang dipelajari “terseragamkan”. Dalam diskusi dan presentasi di kelas ini, guru dapat melakukan perbaikan dan memperluas pengetahuan peserta didik tentang materi yang sedang dipelajari peserta didik.
Untuk mengukur pemahaman dan kemampuan peserta didik secara individu dilakukan tes hasil belajar. Kegiatan ini menuntut peserta didik lebih dalam lagi mempelajari materi yang sedang dibahas dalam rangka persiapan tes. Secara kualitatif kemampuan peserta didik bertambah. Hasil tes berupa nilai, secara kuantitatif menunjukkan pemahaman dan kemampuan peserta didik dalam mempelajari materi yang ditugaskan guru. Dengan demikian baik proses maupun hasil dalam pembelajaran sejarah dengan metode ini dapat dikendalikan dan dipantau oleh guru.
Langganan:
Postingan (Atom)