PEMBELAJARAN
SEJARAH DI SMA
DENGAN METODE
SKEMATIK
Ernawati
(Guru Sejarah SMAN 1 Temanggung)
Abstrak
Metode
pembelajaran sejarah di SMA dengan metode pembelajaran konvensional yang
berpola guru menerangkan, siswa mendengarkan, tanya jawab, dan pemberian tugas
dipandang oleh para guru dan ahli pendidikan sejarah kurang berhasil dan tidak
menjadikan siswa menyenangi dan memiliki ketertarikan terhadap mata pelajaran
sejarah. Pembelajaran sejarah di SMA dengan metode skematik merupakan
alternatif pembelajaran sejarah yang lebih baik dari pembelajaran konvensional,
mengacu pada psikologi kognitif dan pandangan konstruktivistik.
Kata
kunci: Pembelajaran sejarah, skematik, psikologi kognitif, dan
konstruktivistik.
Fakta di lapangan mata pelajaran sejarah bagi siswa baru
(kelas X) di SMA merupakan mata
pelajaran yang kurang diminati siswa karena ketika di SMP/MTs mereka diajar
dengan metode pembelajaran yang kurang menarik. Berdasar jajag pendapat dengan siswa baru SMAN 1
Temangung tahun pembelajaran 2007/2008, dapat disinyalir bahwa mata pelajaran
sejarah di SMP/MTs termasuk mata pelajaran yang kurang begitu diminati oleh
siswa, hal ini disebabkan oleh guru mata pelajaran sejarah di SMP/MTs dalam
melaksanakan pembelajaran kebanyakan menggunakan metode ceramah yang dianggap “membosankan”
oleh siswa.
Guru menceritakan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu,
siswa diminta mendengarkan, mencatat, dan kurang diberi kesempatan terlibat
secara aktif dalam pembelajaran. Sehingga siswa merasa “jemu” dan “tersiksa” dalam
mengikuti pelajaran tersebut, akibatnya siswa kurang optimal dalam menyerap pengetahuan
sejarah secara bermakna. Melalui jajag pendapat
dengan siswa baru tersebut juga diperoleh kesimpulan bahwa rasa ketidaksenangan terhadap mata pelajaran
sejarah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor: (1) guru; (2)
siswa; (3) sarana dan prasarana; dan (4) materi pelajaran.
Penyebab yang bersumber dari faktor
guru terletak pada penguasaan materi guru yang kurang memadai, cara guru
menyampaikan materi kurang menarik sebab guru selalu menggunakan metode
ceramah, dan guru dalam penyampaiannya kurang komunikatif dengan penggunaan
bahasa yang kurang baik sehingga apa yang dibicarakan sulit dipahami oleh
siswa. Penyebab yang bersumber dari
faktor siswa diantaranya adalah siswa tidak mengetahui manfaat mempelajari
sejarah, siswa sulit memahami konsep-konsep dalam mata pelajaran sejarah, dan
siswa kurang berminat mempelajari mata pelajaran sejarah karena dianggap kurang
penting. Penyebab yang bersumber dari sarana dan prasarana sekolah antara lain
kurangnya sumber dan bahan ajar, lokasi sekolah yang jauh dari situs-situs
sejarah maupun musium sejarah, serta media pembelajaran yang masih kurang
memadai. Penyebab yang bersumber dari materi pelajaran antara lain cakupan
materi pelajaran yang terlalu luas, bersifat hapalan, dan banyak konsep-konsep
dalam mata pelajaran sejarah yang bersifat abstrak misalnya konsep budaya,
demokrasi, merdeka, dan lainnya.
Dari hasil pengamatan, pembelajaran
sejarah di SMA selama ini berlangsung dengan metode ceramah, yakni dengan pola
pembelajaran sebagai berikut: guru
memberi informasi – siswa mendengarkan dan mencatat – tanya jawab - pemberian
tugas. Dalam penulisan ini metode pembelajaran dengan pola tersebut disebut
metode pembelajaran konvensional. Metode pembelajaran sejarah di SMA dengan
metode pembelajaran konvensional dipandang oleh para guru dan ahli pendidikan sejarah
kurang berhasil dan bahkan tidak menjadikan siswa menyenangi dan memiliki
ketertarikan terhadap mata pelajaran sejarah.
Hal ini merupakan permasalahan
serius yang harus segera dicari
alternatif pemecahannya. Artikel ini menyajikan ide berupa alternatif
solusi terhadap permasalahan pembelajaran sejarah di SMA, yakni pembelajaran
sejarah di SMA dengan metode skematik yang mendasarkan pada psikologi kognitif
dan mengacu pada pandangan konstruktivistik.
Pembelajaran Sejarah di SMA
Sejarah
menurut Anggar Kaswati (1998: 3) adalah rekonstruksi masa lalu dan apa yang
direkonstruksikan adalah apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan,
dirasakan dan dialami oleh manusia. Sejarah juga didefinisikan sebagai bentuk
analisis mengenai apa yang dipikirkan orang, apa yang diucapkan, diperbuat,
yang menimbulkan perubahan melalui dimensi waktu. Menurut Habib Mustopo (2006:
12) kegunaan sejarah dalam kehidupan
masyarakat adalah: (1) memberikan kesadaran waktu; (2) memberikan
pelajaran yang baik; (3) memperkokoh rasa kebangsaan (nasionalisme); (4)
memberikan kecerdasan identitas nasional dan kepribadian suatu bangsa; (5)
sumber inspirasi; dan (6) sarana rekreatif.
Setiap mata
pelajaran memiliki karakteristik yang khas. Menurut kurikulum 2004
karakteristik mata pelajaran sejarah (Depdiknas, 2006: 4) adalah sebagai
berikut: sejarah terkait dengan masa lalu; sejarah bersifat kronologis; dalam
sejarah ada tiga unsur penting: manusia, ruang dan waktu; perspektif waktu
merupakan dimensi yang sangat penting dalam sejarah. Sekalipun sejarah erat
kaitannya dengan waktu lampau, tetapi waktu lampau itu terus berkesinambungan; sejarah ada prinsip sebab akibat; sejarah pada
hakekatnya adalah suatu persitiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang
menyangkut berbagai aspek dengan pendekatan multi dimensional; pelajaran
sejarah di SMA adalah mata pelajaran yang mengkaji permasalahan dan
perkembangan masyarakat dari masa lampau sampai masa kini; pembelajaran sejarah
di SMA tujuan dan penggunaannya dibedakan atas sejarah empiris dan sejarah
normatif. Sejarah empiris
menyajikan subtansi kesejarahan yang bersifat akademis (untuk tujuan yang
bersifat ilmiah). Sejarah normatif menyajikan subtansi kesejarahan yang dipilih
menurut ukuran nilai dan makna yang sesuai dengan tujuan yang bersifat
normatif, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional; dan
pendidikan sejarah di SMA lebih menekankan kepada perspektif kritis-logis
dengan pendekatan historis-sosiologis.
Di sekolah
sejarah dipandang sebagai ilmu yang memiliki ciri empirik, memiliki obyek,
memiliki teori, dan memiliki metode. Dalam kaitan ini Suryo (dalam Depdiknas,
2006: 3) memberi pengertian tentang ilmu sejarah, yaitu ilmu pengetahuan yang
mempelajari proses perubahan kehidupan manusia dan lingkungannya melalui
dimensi waktu dan tempat. Aspek kajiannya berupa proses perubahan dari
akktivitas manusia dan lingkungan kehidupannya pada masa lalu sejak manusia
belum mengenal tulisan sampai perkembangan mutakhir, yang mencakup aspek-aspek
politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, keagamaan, kepercayaan, geografi dan
lainnya. Dengan demikian mata pelajaran sejarah memiliki peran yang strategis
dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam
pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah
air. Dalam dunia pendidikan,
sejarah mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih
kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian siswa.
Niels Mulder dalam Supriyadi (2005: 1) merasa gundah
terhadap pelaksanaan pembelajaran sejarah selama ini. Dalam pembelajaran
sejarah banyak kendala yang dihadapi para siswa. Beberapa kendala dalam pelaksanaan
pembelajaran sejarah adalah: (1) materi pembelajaran sejarah yang terlalu
banyak; (2) kurangnya minat mempelajari sejarah; (3) prestasi belajar sejarah
rendah; dan (4) buku-buku yang digunakan sebagai bahan pembelajaran kurang
mendidik siswa dalam berpikir kritis. Lebih lagi, guru dalam mengajar sejarah
pada taraf kognitif tingkat rendah. Sebagai akibatnya siswa diminta menghafal
fakta-fakta pada buku-buku yang dijadikan acuan dalam mengajarnya. Muara dari
pelaksanaan pembelajaran seperti itu adalah prestasi belajar siswa rendah dan
siswa kurang memahami sejarah bangsanya sendiri.
Agar pembelajaran di sekolah, termasuk pembelajaran sejarah,
Setyosari (2008: 6) berpendapat bahwa penggunaan media pembelajaran merupakan bagian yang
sangat menentukan dalam efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan
pembelajaran. Berdasar kurikulum sejarah tahun 2004, secara umum pola yang
digunakan oleh para guru sejarah dalam merancang pembelajaran sejarah bermula
dari standar kompetensi dan kompetensi
dasar (tertuang dalam silabus), dan kemudian guru menyusun indikator, tujuan,
dan materi pembelajaran. Selanjutnya menetapkan model, metode, dan media
pembelajaran, strategi atau langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan
diakhiri dengan tehnik penilaian.
Himbauan Supriyadi (2005: 2)
hendaknya sejarawan dan guru sejarah selaku warga negara hendaknya bersedia dan
berkemampuan untuk membangun bangsa. Namun himbauan tersebut sampai saat ini
belum terwujud dalam bentuk nyata dilaksanakan oleh guru-guru sejarah di sekolah.
Hal ini dikarenakan para guru sejarah berpandangan dirinya lebih menguasai
materi sejarah dibanding siswanya. Guru berusaha menjelaskan peristiwa masa
lalu dengan metode ceramah. Kadang siswa diminta membaca cerita dari buku acuan
yang digunakan, kemudian guru menjelaskannya. Siswa tidak begitu lama mampu
berkonsentrasi mendengarkannya, akibatnya siswa menjadi jemu dalam mengikuti
kegiatan pembelajaran di kelas. Guru
sejarah yang diharapkan mampu membangun bangsa menjadi terhambat, karena siswa
di kelas kurang tertarik dan jemu dalam mempelajari sejarah.
Jadi berdasar pengamatan di lapangan terhadap keterlaksanaan
pembelajaran sejarah di sekolah dan menurut pendapat para ahli tersebut di
atas, untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas langkah pertama dan
penting yang dapat dilakukan adalah mengatasi masalah yang bersumber dari
faktor guru. Guru perlu kreatif dalam
melaksanakan pembelajaran sejarah. Berdasar ungkapan Supriyadi (2005: 2)
disinyalir perlunya mengusahakan agar pembelajaran sejarah sukses dan salah
satu alternatifnya adalah merancang dan melaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan bantuan media pembelajaran sejarah.
Karena guru dalam melaksanakan pembelajaran sejarah kebanyakan
menggunakan metode ceramah – tanya jawab – pemberian tugas, maka para guru
sejarah selama ini banyak yang tidak menggunakan media pembelajaran dalam
melaksanakan pembelajaran sejarah di kelas. Menurut Setyosari (2008: 12) pola
pembelajaran seperti ini disebut dengan pola pembelajaran tradisional yang
menempatkan kedudukan guru sebagai satu-satunya sumber dalam komponen sistem
pembelajaran. Secara umum pengertian pembelajaran tradisional identik dengan
pembelajaran konvensional yang berpola ceramah-siswa mendengarkan-tanya
jawab-pemberian tugas..
Gagasan Pembelajaran Sejarah dengan Metode Skematik
Piaget dalam Slavin (2000: 32) membagi
perkembangan kognisi orang dalam empat tahap: (1) sensori motor (sensorimotor); (2) pre-operasional (preoperational); (3) operasi konkret (concrete operational); dan (4) operasi
formal (formal operation). Seseorang sejak lahir sampai dewasa
mengalami proses pekembangan kognitif melalui empat tahap ini. Kecepatan untuk
mencapai dan melewati setiap tahap tersebut berbeda-beda.
Usia siswa SMA antara lima
belas sampai dengan sembilan belas tahun, Menurut tahapan perkembanngan kognisi
dari Piaget berada pada tahap operasional formal. Oleh karena itu siswa SMA dapat berpikir abstrak,
menggunakan penalaran dan logika, menyusun hipotesis, serta memecahkan masalah
yang dihadapi secara sistematik. Dengan demikian siswa SMA dapat menggunakan
kaidah-kaidah ilmiah dalam belajarnya. Jadi berkaitan dengan pembelajaran
sejarah, konsep-konsep sejarah yang
bersifat abstrak dapat dipelajari oleh siswa SMA.
Dengan berlakunya kurikulum
2004 yang berbasis kompetensi dan dengan memperhatikan standar isi (Permendiknas
No. 22 tahun 2006) berkembang berbagai
metode pembelajaran sejarah di SMA. Namun jika diperhatikan di lapangan,
terdapat dua pandangan filosofi yang digunakan para guru dalam mengembangkan
metode pembelajaran, yaitu: behaviorisme dan konstruktivisme. Tokoh-tokoh
pendidikan yang mendasarkan pembelajaran pada behaviorisme misalnya Pavlov,
Thorndike, dan Skinner. Sedangkan tokoh-tokoh pendidikan yang mendasarkan
pembelajaran pada kontruktivisme adalah Piaget, Vygotsky dan Bruner (Salvin,
2000).
Akhir akhir ini dalam
melaksanakan pembelajaran di sekolah,
para ahli pendidikan cenderung menggeser pandangan behavioristik yang melandaskan pada psikologi
tingkah laku, ke arah pandangan konstruktivistik yang melandaskan pada
psikologi kognitif. Kekuatan penalaran
dan logika berpengaruh besar pada pandangan konstruktivistik. Dalam belajar siswa lebih banyak diajak
berpikir mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Jadi
pembelajaran sejarah yang beracuan pada pandangan kontruktivistik akan menjadi
lebih bermakna bagi siswa jika siswa terlibat
berpikir dan aktif mengkonstruksi pengetahuan berdasar pada pengalaman
siswa sendiri dibawah bimbingan guru (guided-reinvention).
Pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru tetapi berorientasi pada siswa (students oriented). Siswa yang belajar, dan guru menyediakan
fasilitas dan membantu serta membimbingnya. Namun yang perlu diperhatikan oleh
guru adalah tidak mudah dalam menyampaikan konsep-konsep sejarah yang bersifat
abstrak kepada siswa (Nurhadi, dkk: 2004)
Berkaitan dengan pembelajaran
sejarah di SMA, kesulitan yang dihadapi oleh guru adalah memilih metode
pembelajaran yang tepat untuk menanamkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip sejarah
yang bersifat abstrak. Sebagai contoh tentang konsep bangsa, negara, demokrasi,
peristiwa pra sejarah, dan sebagainya, yang sifatnya ”abstrak” dan merupakan
peristiwa masa lalu. Maka untuk mengatasi kesulitan itu, guru harus pandai
memadukan berbagai bentuk, cara atau metode agar pengajaran yang disampaikan
dapat bermakna bagi siswa.
Yang tidak kalah penting perlu
mendapat perhatian para guru sejarah SMA dalam melaksanakan pembelajaran di
kelas, bahwa materi sejarah menyangkut konsep yang berkaitan dengan pertanyaan:
(1) apa (what); (2) kapan (when); (3) di mana (where); (4) mengapa (why);
(5) siapa (who); dan (6) bagaimana (how).
Misalnya pembelajaran
konsep kerajaan Singasari dalam konteks pergantian kekuasaan dari Raja Ken Arok
kepada Raja Anusapati. Guru dapat merumuskan
pertanyaan atau pernyataan tentang: apa
peristiwa yang terjadi sekitar suksesi di kerajaan singasari; kapan suksesi tersebut berlangsung; di mana peristiwa penting sekitar
suksesi terjadi; mengapa terjadi
suksesi; siapa saja tokoh-tokoh yang
terlibat dalam peristiwa suksesi; dan bagaimana
proses atau jalannya persitiwa suksesi.
Disinyalir dari isi kurikulum
2004 dan dengan memperhatikan standar isi . (Permendiknas No. 22, 23, dan 24 tahun 2006). saat
ini guru seyogyanya mulai mengurangi
penggunaan metode pembelajaran konvensional; sebagai alternatif penggantinya
guru didorong merancang pembelajaran beracuan
konstruktivisme yang mengacu pada psikologi kognitif. Dalam bidang
metodologi pendidikan Piaget tergolong dalam konstruktivisme individu dan
Vygotsky dalam konstruktivisme sosial. Beberapa tokoh pendidikan, mengacu pada psikologi kognitif dari Piaget,
yang melibatkan beberapa unsur pendapat Vygotsky terutama pada bantuan belajar
atau scaffolding.
Bruner seorang ahli pendidikan
dari Amerika menjelaskan tentang konsep belajar, bahwa belajar yang efektif dan
komprehensif diperoleh dengan cara belajar konsep dan struktur ilmu yang sedang
dipelajari. Teori Bruner mengacu pada teori Piaget dan Vygotsky. Sampai saat ini teori pendidikan Bruner masih
berpengaruh dalam dunia pendidikan. Secara teoritis pembelajaran menurut teori
Bruner (dalam Materney, 1999) mengikuti langkah: enaktif (enactive) – ikonik (iconic)
– simbolik (symbolic) yakni
pembelajaran yang bermula dari hal-hal konkret menuju abstrak. Untuk usia siswa
SMA guru seyogyanya dapat mengajarkan struktur dan konsep sejarah yang kompleks
dan abstrak dengan pendekatan yang sesuai dengan Teori Bruner.
Ide dari pembelajaran sejarah
dengan metode pembelajaran skematik terinspirasi dari teori Bruner, Piaget dan
Vygotsky. Sumbangan teori Bruner terutama pada pergeseran dari tahap ikonik ke
simbolik yang dalam praktek pembelajaran di
kelas menggunakan bantuan benda-benda manipulatif misalnya gambar, peta,
grafik, skema, sketsa dan media pembelajaran yang sejenis. Sumbangan teori
Piaget terutama pada proses penyerapan informasi sejarah yang masuk ke benak
siswa disimpan dalam skema-skema (schemes)
melalui adaptasi dan akomodasi. Sumbangan
teori Vygotsky terutama pada interaksi sosial dalam kelompok.
Agar siswa menangkap
konsep-konsep sejarah, dalam melaksanakan pembelajaran diperlukan media
pembelajaran atau mediasi benda-benda manipulatif. Pembelajaran sejarah
berkaitan erat dengan membaca (reading).
Siswa dalam membaca bukan saja membaca tulisan-tulisan dalam buku tetapi juga
membaca dan memaknai misalnya gambar masa lalu, peta, grafik, dan sebagainya. Berkaitan
dengan kemampuan membaca siswa, konsultan internasional pendidikan anak Sticht
(2002: 3) menyatakan:
In writing, the person
“extract” knowledge from the brain and “collect” (store) it in graphics
displays. Then, through the practice of the skill of reading, the collected
knowledge is extracted by the person from the graphic display and reconstructed
in the brain.
Artinya, dalam menulis, individu “mengekstrakkan” pengetahuan dari
benak dan “mengumpulkannya” (menyimpan) dalam tampilan “grafik”. Kemudian,
melalui latihan keterampilan membaca, pengetahuan yang terkumpul tadi
diekstrakkan oleh individu dari tampilan grafik dan merekonstruksi dalam
benaknya.
Berkaitan dengan istilah ”grafik” tersebut di atas,
Sticht (2002) menyatakan berbagai transisi dan pemrosesan informasi secara
”grafik” dapat berbentuk label-label, daftar-daftar, skedul-skedul, flow chart,
tabel-tabel, skema, transparansi, dan sebagainya. Penekanan pada pentingnya
makna dalam membaca dapat dilakukan dengan membantu siswa memahami apa yang
ditulis. Pentingnya makna dalam menulis dan membaca dapat dikenalkan melalui
penyajian grafik berbasis non bahasa lisan (misalnya gambar).
Para ahli sejarah dan ahli
pendidikan sejarah telah banyak melakukan penelitian dalam bidang
disiplin ilmu sejarah. Misalnya ProQuest (2006) melakukan penelitian studi
kasus pembelajaran sejarah melalui website.
Salah satu instrumen dalam pembelajarannya adalah dengan cara menunjukkan
gambar (foto) melalui website.
Subyeknya adalah siswa kelas (grade) X,
para siswa diminta memberi komentar pada
suatu gambar (foto) peristiwa sejarah, misalnya bagaimana perkiraan kebudayaan
masyarakat pada waktu itu. Dengan cara seperti itu, siswa ikut terlibat
berpikir tentang peristiwa sejarah dan bahkan dapat membuat hubungan (connection) dengan peristiwa saat ini,
dan memprediksi peristiwa yang mungkin akan terjadi di masa datang.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Radulovic dan Rojovic
(2004), subyek penelitiannya adalah mahasiswa pendidikan sejarah. Tujuan
penelitiannya adalah untuk mencari alternatif pembelajaran yang relevan dengan
guru-guru sejarah dengan melibatkan unsur psikologi dan pedagogi. Hasil penelitiannya
adalah pembelajaran sejarah yang berorientasi pada berpikir kritis dan
pemecahan masalah (critical thinking and
problem solving). Dengan berpikir kritis guru-guru dapat mengembangkan
pemahaman sejarahnya, misalnya sebab dan akibat, pendapat pribadinya, motivasi
diri pribadi, dan keterampilan menggunakan bacaan secara aktif. Pengembangan
keterampilan pemecahan masalah bersama-sama dengan pendekatan interdisipliner
dapat membantu para siswa mempelajari sejarah.
Dalam kesimpulan penelitiannya, Radulovic dan Rojovic
(2004) menyatakan:
An important
component of teacher education should be active participation in curriculum
development aimed at learning how to re-examine existing concepts of history
teaching (offered by policy makers together with scholars) by integrating that
view of history as history through creation (progress), cooperation and
cultural development.
Artinya suatu komponen yang penting dalam pendidikan
guru adalah harus berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum yang ditujukan
pada pembelajaran bagaimana menguji kembali keberadaan konsep-konsep dalam
pembelajaran sejarah (diupayakan oleh pembuat kebijakan bekerjasama dengan
sekolah) dengan mengintegrasikan pandangan sejarah sebagai sejarah melalui
kreasi (kemajuan), kooperasi, dan perkembangan budaya.
Sintaks Pembelajaran Sejarah dengan Metode Skematik
Dalam penulisan artikel ini, pembelajaran sejarah
skematik merupakan pilihan metode pembelajaran untuk memecahkan masalah perbaikan atau terobosan dalam bidang
pembelajaran sejarah di SMA. Istilah “skematik” terinspirasi oleh kata ”scheme” dalam teori psikologi
kognitif Piaget tentang belajar. Inti
dari pembelajaran konstruktivistik menurut
Piaget adalah siswa dalam menyerap informasi
yang akan dimasukkan dalam benaknya melalui adaptasi, dan berbentuk
skema-skema (schemes). Dalam adaptasi
ini memuat proses asimilasi, yaitu manakala informasi yang masuk dalam benak
siswa sesuai dengan skema-skema yang sudah dimilikinya. Jika belum cocok, siswa
melakukan modifikasi atau bahkan membuat skema baru, dan ini disebut proses
akomodasi.
Sebagaimana dalam pelaksanaan pembelajaran pada mata
pelajaran lainnya, tidak semua materi dapat menggunakan pendekatan
konstruktivisme. Apalagi dalam mata pelajaran sejarah yang sifatnya lebih dominan
pada kemampuan memahami untuk
“diingat-ingat,” sudah barang tentu tidak semua topik dapat diajarkan
dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik. Namun demikian, yang lebih
utama dalam pembelajaran sejarah skematik ini adalah orientasi atau fokus guru
dalam mengajarkan konsep-konsep sejarah senantiasa berupaya melibatkan siswa
aktif berpikir dan mengkonstruksi pengetahuan dalam benaknya dengan bantuan
mengamati gambar-gambar, peta, grafik, skema, sketsa, foto atau bantuan benda
manipulatif lainnya.
Di samping itu, berdasar pada pengalaman mengajar
sejarah di SMA selama ini, siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan ini sering
mengalami kesulitan. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator, pembantu, dan
pembimbing siswa menemukan kembali (guided
reinvention) konsep-konsep dan prinsip-prinsip sejarah, sebagaimana
tuntutan kurikulum mata pelajaran sejarah yang berbasis pada kompetensi (Depdiknas, 2006).
Dalam pembelajaran sejarah yang hanya dengan ceramah
guru, menjadikan kegiatan siswa lebih banyak untuk mendengarkan dan mencatat.
Proses adaptasi dalam pembentukan skema
dalam benak siswa tergolong “rendah”, dan akibatnya pengetahuan yang telah
diserap mudah “terlupakan”. Siswa mencoba merekam dan menghafal apa yang sudah
ia dengar, namun ilmu pengetahuan yang hanya dihafal semata tersebut tidak
mampu bertahan lama di benak siswa, dan beberapa hari kemudian siswa “lupa”
terhadap apa yang sudah dipelajarinya.
Untuk menyajikan pengetahuan sejarah sehingga siswa
belajar secara lebih bermakna, tidak sekedar menghafal, diperlukan mediasi
pembelajaran untuk membantu siswa menyerap informasi dan menyusun skema dalam
benaknya sehingga skema tersebut dapat bertahan lama dan tidak mudah lupa.
Untuk keperluan praktis dalam pembelajaran sejarah di kelas, penulis sependapat
dengan Bruner bahwa pembelajaran sejarah perlu media untuk “konkretisasi”
melalui langkah ikonik menuju abtraksi (Matherne, 1999).
Langkah-langkah pembelajaran sejarah
dengan metode skematik sebagai berikut (Ernawati, 2006).
a. Kegiatan Awal
Fase pembukaan
Guru membuka pembelajaran,
menyampaikan tujuan atau indikator pembelajaran, memeriksa pengetahuan
prasyarat siswa, memberi motivasi, dan mengaitkan dengan masalah sehari-hari
jika memungkinkan.
b.
Kegiatan inti
Fase ikonik
Pada fase ini guru menjelaskan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip sejarah dengan pendekatan ikonik, yakni
menjelaskan dengan menggunakan bantuan gambar-gambar, peta, grafik, tabel,
skema, sketsa atau menggunakan bantuan benda manipulatif lainnya yang sesuai
dengan materi pembelajaran.
Fase diskusi
Pada fase ini siswa diberi tugas
kelompok, misalnya memahami suatu topik atau tema sejarah. Siswa diminta
menyusun kerangka pemikiran dalam topik atau tema tersebut dengan cara membuat
atau menggunakan gambar, peta, grafik, tabel, skema atau sketsa. Hasilnya dipresentasikan di depan kelas.
Fase simbolik
Pada fase ini siswa diminta
menulis hal-hal penting berkaitan dengan pengertian, definisi, karakteristik,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip
sejarah yang dipresentasikan oleh temannya. Jika siswa mengalami
kesulitan guru memberikan bantuan dengan cara menuliskan kesimpulan dan makna
dari materi yang dipelajari. .
c.
Kegiatan akhir
Fase penutup
Guru bersama sisiwa merangkum,memberi tugas
misalnya pekerjaan rumah, dan menutup pembelajaran.
Untuk mengetahui apakah
pembelajaran sejarah di SMA dengan
metode skematik dapat mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran sejarah di
kelas, telah dilakukan penelitian
eksperimen di kelas X SMAN 1 Temanggung 0leh Ernawati, 2006. Salah satu hipotesis dalam
penelitian sebagai berikut:
Ho: Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar sejarah siswa SMA yang diajar dengan menggunakan metode
pembelajaran skematik dan metode
pembelajaran konvensional.
Ha: Ada perbedaan yang
signifikan antara rata-rata hasil belajar sejarah siswa SMA yang diajar dengan
menggunakan metode pembelajaran skematik dan
metode pembelajaran konvensional.
Untuk
menguji perbedaan rata-rata (mean)
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada hipotesis tersebut, digunakan
rumus t-statistik (Sonhadji, 1991; Sugiyono, 2007: 138). Kriteria penarikan kesimpulan sebagai
berikut: dengan taraf signifikansi alpha = 0, 05; jika t-statistik > t kritis
menurut tabel atau t-statistik < -
(t kritis menurut tabel); maka Ho (hipotesis nol) ditolak. Analisis data yang diperoleh dari
tes, disajikan berikut ini. Diperoleh t
statistik = 7,836. Dengan taraf
signifikansi alpha = 0, 05, nilai t kritis menurut tabel distribusi t adalah 2,035. Jadi dengan taraf signifikansi alpha = 0, 05;
t-statistik > t kritis menurut tabel. Maka Ho (hipotesis nol) ditolak. Dengan demikian
berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar
sejarah siswa SMA yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran skematik
dan metode pembelajaran konvensional.
Berdasar hasil analisis
hasil tes prestasi belajar untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh
hasil sebagai berikut. Rata-rata prestasi belajar untuk kelas eksperimen
80,34375 (diatas standar ketuntasan belajar, yaitu 65 dengan skala 100) dengan
nilai terendah 50 dan tertinggi 100. Rata-rata ini jauh lebih tinggi dari
rata-rata prestasi belajar kelas kontrol 61,0625 dengan nilai terendah 43 dan
tertinggi 79. Berdasar hasil analisis data ini, diperoleh simpulan bahwa
pelaksanaan pembelajaran sejarah di SMA dengan menggunakan metode pembelajaran skematik lebih baik dari
pada menggunakan metode pembelajaran konvensional.
Simpulan
1. Pembelajaran sejarah di SMA dengan
menggunakan metode pembelajaran skematik merupakan alternatif pembelajaran sejarah yang mendasarkan pada
psikologi kognitif yang mengacu pada teori Bruner.
2. Pembelajaran sejarah di SMA dengan
menggunakan metode pembelajaran skematik
lebih baik dari pada menggunakan metode
pembelajaran konvensional.
Saran
1. Dalam
pembelajaran sejarah guru seyogyanya menggunakan metode pembelajaran skematik
dengan melibatkan siswa secara aktif belajar melalui mediasi gambar, grafik,
peta, skema, tabel, sketsa, dan mediasi ikonik lainnya.
2. Guru
dalam melaksanakan pembelajaran sejarah dengan metode pembelajaran skematik
sejauh mungkin melibatkan siswa berpikir dan
aktif mengkonstruksi pengetahuan
sehingga dapat menjadikan siswa menyenangi dan memiliki ketertarikan dengan
pelajaran sejarah.
Daftar
Pustaka
Anggar Kaswati. 1998. Metodologi Sejarah dan Historiografi.
Yogyakarta: Penerbit Beta Offset.
Depdiknas. 2006. Standar isi. Permendiknas
No. 22 Tahun 2006. Kurikulum
Sejarah SMA. Jakarta: Depdiknas.
Ernawati. 2006. Perbedaan Prestasi Belajar Antara
Menggunakan Metode Pembelajaran Skematik dan Metode Pembelajaran Konvensional
bagi Siswa Kelas X SMAN 1 Temanggung. Laporan Penelitian. Temanggung: SMA Negeri 1 Temanggung. (Laporan
penelitian ini dipublikasikan melalui Perpustakaan Daerah Kabupaten Temanggung,
dengan Surat Keterangan dari Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten
Temanggung, Kasi Manajemen Perpustakaan No. 007/AP/II/2007, tanggal 7 Februari
2007).
Flores, N. 2001.
Jerome Bruner Educational Theory.
NewFoundations. Analyst: Nocole Flores. Edited 6/22/01. http:/www.newfoundation.com/GALLERY/
Bruner.html.
Habib Mustopo. 2006. Sejarah: SMA Kelas X.
Jakarta: Yudhistira.
Hartono Kasmadi. 1996. Model-model Dalam Pengajaran Sejarah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Matherne, B. 1999. The Process of Education by Jerome
Bruner. Reader Journal. Book review
by Bobby Matherne. Cambridge:
Havard University Press, MA in 1963.
Nurhadi, Y, B, Senduk, A.G. 2004. Pembelajaran
Konstekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
ProQuest. 2006. Using
ProQuest Learning: History to Support Embedding ICT in History Teaching
Learning.Cambridge: ProQuest Information and Learning. www.
Proquestlearning.co.uk. download: 28 Juli 2006.
Radulovic, L dan Rojovic,
V. 2004. How to
Teach Serbian History Students about School Failure and Cultural Diversity. Download Internet: 24 Juli 2006.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allen and Bacon.
Sonhadji, A. 1991. Statistik Inferensial II. Makalah disajikan dalam Lokakarya
Penelitian Tingkat Dasar Bagi Dosen Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di
Malang Angkatan XIV tahun 1991/1992, di Malang.
Sugiyono, 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Suparman, dkk. 1999. Sejarah Nasional dan Umum. Solo: Tiga
Serangkai.
Supriyadi, Y.
2004. Perwara Budaya Hindu-Budha di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Yogyakarta: Kalika.
Supriyadi, Y.
2005. Sumbangan Media dalam Pembelajaran Sejarah. Akademika. Jurnal Ilmiah Kependidikan. Vol. 4. No. 1,
April 2005. Halaman 1-14. Wates: Pusat Penelitian & Pengembangan Pendidikan
IKIP PGRI Wates.
Tim Bina Karya Guru. 1999. IPS Terpadu untuk SMA Kelas 5. Jakarta: Erlangga.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar